Sunday, August 31, 2008

Meishi (Kartu Nama)


Read this article in English.
Translation copyright : Closer to Japan.

Adalah sebuah kebiasaan umum di Jepang, menawarkan kartu nama saat berkenalan dengan seseorang. Selain nama, biasanya pada kartu ditambahkan pula nama perusahaan, organisasi, status jabatan atau jenis pekerjaan, alamat kantor atau organisasi beserta nomor telepon ataupun faks. Biasanya, sebuah kartu juga menampilkan logo atau lambang perusahaan/organisasi.

Kartu nama yang paling umum di Jepang adalah yang berwarna krem, dengan tulisan yang dicetak hitam dengan karakter huruf Cina. Belakangan ini, kebanyakan menambahkan keterangan yang sama dalam alfabet romawi di belakang kartu.

Tidak ada perbedaan yang kontras antar kartu nama bisnis yang digunakan di Eropa ataupun di Amerika. Utamanya sejak abad ke-19, kartu nama untuk keperluan sosial kemasyarakatan ataupun untuk bisnis, umumnya sama saja.

Kartu nama biasanya digunakan pula sebagai "surat perkenalan". Dalam hal ini, biasanya pada kartu ditambahkan catatan khusus yang dirasakan perlu antara yang memberi kartu dan yang akan diberikan kartu.

Adab sopan santun yang berlaku di masyarakat Jepang mengharuskan seseorang yang berada di posisi yang lebih rendah atau berusia lebih muda untuk lebih dulu menawarkan kartu namanya. Saat menyerahkan kartu, hendaknya tulisan pada kartu tersebut menghadap ke penerima, sehingga penerima bisa segera membaca tulisan pada kartu tersebut begitu menerimanya. Adalah dianggap tidak sopan menggunakan kartu yang sudah rusak atau lecek, ataupun yang sudah ada catatannya yang tidak diperuntukkan bagi orang yang akan diberikan.

Sumber :
- Japan, The Land and It's People
-Gates to Japan, Gen Itashaka.

Translation copyright : Closer to Japan.

Thursday, August 28, 2008

Orang Jepang Olahraga Setiap Hari -- Secara Alami



:: Read this article in English
:: Translation Copyright : Closer to Japan.

Bukan hanya makanan yang jadi faktor utama orang Jepang bisa berumur panjang dan umumnya cukup sehat. Faktor lainnya adalah karena mereka setiap hari di sepanjang hidup mereka, melakukan olahraga secara alami. "Kesehatan orang Jepang sangat baik dan demikin pula bentuk tubuh mereka," demikian sebuah judul dalam Majalah Time pada tahun 2004 terkait tulisan tentang 'Bagaimana Hidup Sampai 100 Tahun'. Salah satu aktor utama pendukung umur panjang itu adalah "...mereka adalah orang-orang yang sangat aktif yang terlibat dalam kegiatan olahraga yang tidak disengajai setiap hari."

Orang-orang tua Jepang khususnya, sangat aktif. Makoto Suzuki, seorang professor di Universitas Internasional Okinawa, mengatakan, "Berkebalikan dengan di Amerika, para tetua Jepang tidak perlu sengaja keluar untuk khusus berolahraga -- rutinitas setiap hari sudah membuat mereka cukup langsing dan sehat." Fakta tersebut bila digabung dengan pola makan gizi seimbang, "Itu adalah kombinasi yang melahirkan kemenangan,"tambah Professor Suzuki.

Ambil contoh dekat misalnya, keluarga saya sendiri [penulis, Naomi Moriyama]. Ibu saya, Chizuko, berjalan kaki di jalan-jalan Tokyo setiap hari, kadang naik turun tangga, dan pada akhir pekan ia biasanya pergi mendaki gunung bersama teman-temannya. Musim panas yang lalu, kedua orang tua saya mengajak saya dan Billy [suami Naomi] mendaki Gunung Takao, yang sebenarnya merupakan bukit taman nasional setinggi 600 meter di Tokyo. Ketika kami hampir sampai di puncak setelah melakukan pendakian selama kira-kira 1,5 jam, ibu saya mengatakan yang merupakan sebuah fakta, "Saya sama sekali tidak capek!"

Seperti jutaan orang Jepang lainnya, ayah saya, Shigeo, yang saat ini sudah di awal 70-an, biasa berkeliling di kota dengan sebuah sepeda tua. Bukan sepeda modern 'Lance Armstrong', itu hanya sepeda yang memiliki satu kecepatan. Biasanya ia bersepeda ke rumah saudara perempuan saya berjarak sekitar dua puluh blok untuk menjaga cucu-cucunya.

Sebaliknya, saudara perempuan saya, Miki, bersepeda juga dalam kota, kadang-kadang pergi belanja kebutuhan rumah tangga yang ia taruh di keranjang sepeda bagian depan yang mana di bagian belakang sepeda, ia bonceng keponakan saya, Kasumi yang berusia dua tahun. Sering, Miki menjemput Kazuma, kakak Kasumi, pulang sekolah dengan cara yang sama : bersepeda. Adapun suami Miki, Shiko, lebih aktif lagi, karena ia pekerjaannya memang di bidang olah tubuh : instruktur tari tradisional Jepang dan aktif jadi pengajar di kelas-kelas yang terdapat di dalam negeri.

Di jalan-jalan yang sempit dan antara gedung-gedung di seluruh Tokyo, Anda akan mudah melihat orang-orang kantoran bersepeda dan para perempuan juga demikian, pergi belanja keperluan rumah tangga. Dan apa yang terjadi di Tokyo itu, mewakili secara keseluruhan dalam negeri.

Berjejer panjang di sekitar stasiun kereta, ratusan bahkan mungkin ribuan sepeda itu memberitahu Anda bahwa itu milik orang-orang yang pergi sekolah atau kerja dengan bersepeda dari rumah. Salah satu pemilik sepeda itu adalah paman saya Kazuo, yang saat ini berusia di awal 70-an. Ia tiap hari pergi kerja dari Tokyo ke pinggiran kota. Hujan ataupun cerah, setiap hari Anda dapat melihatnya meninggalkan rumah dan mengayuh sepeda ke stasiun, memarkir sepeda untuk selanjutnya menggunakan kereta, dengan setelan jas kantornya beserta dasi.

"Bagaimana kalau hujan?" tanya saya.

Ia menjawab dengan enteng, "Memangnya kenapa, saya cuma ambil payung saja, pegang satu tangan dan tangan yang satu mengemudikan sepeda!" Istrinya, Yoshiko, berenang setiap hari dan ia juga seorang pelatih selam.

Secara sederhana, naik kereta setiap hari di Jepang sudah merupakan olahraga. Stasiun kereta tersebar di seluruh negeri, terletak terpisah-pisah dalam jarak tertentu, yang menuntut orang untuk naik turun tangga dan berjalan kaki antara stasiun yang satu ke stasiun lainnya untuk ganti kereta.

Terkait dengan "ketidaksengajaan" berolahraga, banyak orang Jepang yang sudah terbiasa dengan olahraga yang sampai keringatan.

Setiap pagi di Tokyo saat fajar merekah, Anda bisa lihat Keizo Miura yang usianya menjelang 100 tahun melakukan jalan kaki sebelum sarapan dengan telur dan rumput laut. Di usia 99, ia melakukan ski di Mont Blanc, Alpes, Italia.

Pada tahun 2003, anaknya, Yuichiro Miura yang berusia 72 tahun saat itu, menjadi orang paling tua yang penrah mendaki Gunung Everest -- satu tahun setelahnya ikut pula temannya, Tamae Watanabe, yang dengan usia 63 tercatat sebagai perempuan tertua yang juga mendaki gunung tersebut.

"Orang-orang tua Jepang memang diakui sehat, bisa melakukan banyak hal di usia tua mereka, yang mungkin banyak anak muda tak bisa lakukan," kata anak Mr. Miura pada seorang reporter yang sedang membuat tulisan tentang usia panjang orang Jepang. "Orang-orang Jepang yang berusia di atas 65 tahun di sini pada pergi mendaki gunung, pergi ke Cina untuk menanam pohon, melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mengajar Bahasa Jepang. Semuanya itu karena diet, olahraga yang alami setiap hari."

:: Read this article in English
:: Translation Copyright : Closer to Japan.

Sunday, August 24, 2008

Hanko (Stempel Pengganti Tanda Tangan)


Tidak seperti di umumnya negara-negara barat, sebuah tanda tangan secara hukum tidak diakui legal di Jepang. Pencairan slip penarikan di bank, aplikasi-aplikasi di kantor-kantor pemerintah dan semua jenis dokumen resmi, distempel dengan hanko (yang juga disebut inkan ataupun cap, mengikuti nama orang yang bersangkutan.

Hanko terbuat dari kayu, gading, tulang, kristal, batu, ataupun bahan lain dan diukir dengan nama keluarga pemiliknya. Biasanya, warna tinta stempel yang ada pada bantalan stempel hanko adalah berwarna merah. Menggunakan dokumen yang distempel dengan benar adalah legal di Jepang, meskipun bukan yang bersangkutan yang menulis nama dari pemilik yang punya hanko.

Bagi mereka yang memiliki nama keluarga umum (seperti "Sato", "Suzuki", "Kobayashi") bisa membeli hanko yang sudah jadi di toko-toko buku, tapi ketika mereka perlu membeli properti atau melakukan transaksi yang melibatkan sejumlah besar uang, adalah menjadi keharusan untuk membuat hanko yang disebut jitsuin yang secara resmi didaftarkan ke kantor pemerintah. Dan juga, untuk menarik uang dari sebuah rekening bank, hanya bisa dengan memakai hanko yang dijadikan stempel pada buku bank saat rekening baru dibuat atau dibuka.

Untuk transaksi kecil-kecilan, orang biasanya menggunakan hanko yang tidak perlu didaftarkan, yang disebut mitome-in. Biasa digunakan untuk menyetempel tanda terima pengantaran surat kilat, surat terdaftar dan kiriman barang, dan untuk stempel dokumen di tempat kerja. Itulah sebabnya kehadiran hanko dalam kehidupan sehari-hari sangat terasa. Begitu seringnya hanko digunakan, hingga hidup rasanya hampir tidak mungkin tanpa memiliki satu hanko.

Mulai dari anak usia SD, sudah perlu memiliki satu hanko. Harga pembuatannya yang paling murah adalah sekitar 80 ribu hingga 150 ribu rupiah perbuah. Adapun mereka yang punya nama marga yang umum, bisa membeli hanko yang sudah jadi di toko-toko yang menjual semua item barangnya seharga 100 yen atau delapan ribu rupiah.

::Translation copyright : Closer to Japan.

(Gaya Hidup di Jepang) : Uang Tip (Kokorozuke)

:: Read this article in English.

Meskipun sebenarnya secara umum tidak ada kebiasaan memberi tip di Jepang, ada sejumlah orang yang dengan sengaja memberi tip pada para pelayan atau para koki sebagai tanda penghargaan saat bermalam di penginapan tradisional Jepang yang dikenal dengan nama ryoukan. Uang tip ini, yang dalam bahasa lokalnya disebut kokorozuke, biasanya dimasukkan ke dalam sebuah amplop khusus yang biasa banyak dijual di toko-toko, baik stationary ataupun di toko keperluan sehari-hari. Kebiasaan memakai amplop ini adalah sebuah kelaziman, yang mana sebaliknya, adalah tidak lazim memberikan tip secara langsung tanpa "disembunyikan" dalam suatu bungkusan.

Biasanya, beberapa orang memberi tip pada orang yang membantu mereka, ataupun pegawai pada masa-masa suatu festival dilangsungkan ataupun peristiwa-peristiwa khusus, sebagai salah satu bentuk bonus atau hadiah khusus kepada para pegawai yang mereka terima di luar uang gaji. Uang yang diberikan dalam situasi seperti ini biasanya ditempatkan di dalam amplop yang dikenal dengan nama shuugibukuro, juga bisa didapatkan di toko-toko.

Dalam sebuah pementasan seperti teater ataupun di lapangan-lapangan olahraga semisal baseball, bonus juga biasa diberikan kepada para staf yang dimasukkan dalam amplop yang dikenal dengan nama ouiribukuro.

Namun, bagaimanapun, perlu diingat bahwa dapat dipastikan tidak ada kebiasaan memberi tip di hotel biasa, rumah makan modern, stasiun, bandar udara, dan fasilitas modern lainnya.

:: Translation copyright : Closer to Japan.
Sumber : Gen Itasaka, Gates to Japan.

Wednesday, June 04, 2008

Gagak Jepang yang Merepotkan


:: Tulisan ini dimuat di http://www.panyingkul.com/view.php?id=881&jenis=kabarkita


Japan Fights Crowds of Crows. Begitulah judul berita International Herald Tribun edisi bulan lalu, yang mengulas masalah burung gagak. Kawanan burung berbulu hitam ini memang semakin berulah. Mulai dari mencuri makanan, membongkar sampah, hingga membuat aliran listrik padam di Kyushu, Jepang Selatan gara-gara seenaknya membuat sarang di tiang-tiang listrik.


Kenapa di Tokyo banyak burung gagak? Pertanyaan ini juga tak jarang terlontar dari orang-orang yang pertama kali berkunjung ke ibukota Jepang ini. Tak hanya di Tokyo, burung ini memang populasinya banyak sekali di Jepang, berbanding terbalik dengan masalah nasional penurunan populasi akibat rendahnya tingkat kelahiran dan banyaknya jumlah lansia.


Menurut para ahli, jumlah gagak di Tokyo saja ada 150.000 ekor. Angka yang sangat besar, tentu saja. Tak ayal, kehadiran gagak ini merepotkan masyarakat. Pemerintah, universitas dan perusahaan swasta memberi sarana dan fasilitas kepada para penelitinya untuk melakukan observasi terhadap burung gagak. Tujuannya, bagaimana agar burung tersebut bisa dikurangi populasinya dan untuk menemukan cara mengantisipasi gangguan dari burung-burung itu.


Salah satu peneliti yang cukup terkenal adalah Prof. Sugita Shoei dari Universitas Utsunomiya. Dari penelitiannya terungkap bahwa gagak yang biasanya suka mengacak-acak kantong sampah hingga isinya berhamburan keluar, tidak punya kepekaan terhadap plastik kuning semi transparan. Sejak penemuan ini, mulailah diproduksi kantong plastik sampah kuning yang kabarnya tidak diminati oleh para gagak itu. Namun sayang, harganya yang cukup mahal dibandingkan plastik sampah biasa membuat hasil temuan sang professor kurang diminati masyarakat.


Selanjutnya pemerintah, khususnya di kota Fujisawa, provinsi Kanagawa, mengeluarkan peraturan bahwa pembuangan sampah di daerah ini mesti menggunakan plastik khusus, yang didistribusikan di toko-toko yang buka 24 jam ataupun supermarket serta toko-toko obat di seluruh kota.


Dikatakan bahwa gagak adalah jenis binatang yang atama ii atau cerdas. Misalnya saja gagak akan mengingat wajah serta warna/jenis kendaraan orang yang pernah mengganggunya, dan bila suatu waktu orang ini kembali ke daerah gagak tersebut hidup, ia akan memanggil kawan-kawannya dan melakukan serangan balasan.


Salah seorang sukarelawan pengajar bahasa Jepang di Shounandai Shiminkan, Fujisawa, pernah bercerita soal kepandaian burung gagak ini. Hayashi-sensei, perempuan Jepang setengah baya itu punya kebiasaan memesan bahan makanan seperti daging, ikan dan sayur-mayur lewat pos, yang akan diantar ke rumah pemesan seminggu sekali. Suatu waktu Hayashi pulang dari bepergian dan ditemuinya kardus makanan pesanan tersebut diletakkan di depan pintu. Memang begitulah sistem di Jepang, pemesanan rutin seperti itu sering kali tidak mesti diserahkan tangan ke tangan. Pesanan berkotak besar yang isinya mungkin bernilai sekitar ratusan ribu rupiah itu, cukup diletakkan di luar, dan biasanya tidak akan ada yang mengambilnya.


Pada sekilas pandangan pertama, Hayashi-sensei tak menaruh curiga apapun terhadap kotak yang terbuat dari bahan gabus itu. Namun begitu ia mengangkat kardus tersebut, tahulah ia bahwa ada yang tidak beres dengan kotak yang masih terbungkus rapi itu. Kardus itu terlalu ringan untuk memuat pesanannya! Dan benarlah, ketika ia membuka tutupnya, isinya sudah hampir kosong. Selidik punya selidik, ternyata ada lubang di belakang kardus. Lubang bekas patukan paruh burung gagak!


Kabarnya, sejak sekitar tahun 1990, burung gagak di Jepang berhasil menemukan cara baru memecahkan dongguri, yaitu biji-bijian seperti kacang. Mereka meletakkan dongguri yang kulitnya cukup keras itu di tengah jalan raya. Pada awalnya mereka menunggu lampu lalulintas menjadi merah. Selanjutnya mereka meletakkannya di tengah kendaraan yang berhenti. Bila lampu hijau, gagak menunggu adakah dongguri mereka terlindas ban mobil atau tidak. Bila ternyata tidak, gagak Jepang akan memindahkannya di tempat berbeda, menunggu kembali kendaraan lain melintas.


Sejumlah cara telah dicoba untuk menghalau gagak. Biasanya di taman-taman terbuka atau kouen itu diberi peringatan agar jangan memberi makan burung merpati. Sebenarnya, salah satu sebabnya juga karena selain merpati, burung gagak akan mencicipinya juga. Dan ini bisa membuat jumlah burung gagak makin meningkat.


Asahi Shinbun, salah satu koran terkemuka di Jepang pernah juga secara khusus menurunkan artikel tentang bagaimana cara mengatasi serangan dan gangguan gagak. Salah satunya adalah dengan membuat mereka kesulitan untuk melestarikan keberlangsungan hidupnya. Sarang burung gagak biasanya dirangkai dari gantungan baju yang terbuat dari kawat. Karenanya, sebaiknya jangan tinggalkan gantungan baju kawat ini tergeletak begitu saja di luar rumah, karena gagak akan semakin mudah membuat sarangnya. Selain itu, bila membuang sampah yang bisa terbakar, mesti diperhatikan bahwa sampah tersebut tak bisa dikoyak gagak, yang suka mencari sampah makanan sisa. Makanya, kantong-kantong sampah itu ditutup lagi dengan jaring, agar tidak dipatuk oleh gagak. Asahi Shinbun, salah satu koran terkemuka di Jepang pernah juga secara khusus menurunkan artikel tentang bagaimana cara mengatasi serangan dan gangguan gagak. Salah satunya adalah dengan membuat mereka kesulitan untuk melestarikan keberlangsungan hidupnya. Sarang burung gagak biasanya dirangkai dari gantungan baju yang terbuat dari kawat. Karenanya, sebaiknya jangan tinggalkan gantungan baju kawat ini tergeletak begitu saja di luar rumah, karena gagak akan semakin mudah membuat sarangnya. Selain itu, bila membuang sampah yang bisa terbakar, mesti diperhatikan bahwa sampah tersebut tak bisa dikoyak gagak, yang suka mencari sampah makanan sisa. Makanya, kantong-kantong sampah itu ditutup lagi dengan jaring, agar tidak dipatuk oleh gagak.


Saya sendiri mengalami pengalaman menarik dengan burung gagak. Suatu sore di akhir musim semi saya dan keluarga singgah di taman sehabis berbelanja. Belanjaan yang berupa dua kantong plastik besar, diletakkan di dalam keranjang sepeda. Saat hendak pulang, kantong plastik yang berada di keranjang sepeda sudah robek. Udang dan ikan segar sudah raib, hanya tinggal wadahnya, tergeletak di bawah pohon. Sementara di atas pohon, bertengger dua ekor gagak hitam, mengumandangkan teriakan kemenangan: kwaaak, kwaaak, kwaaak

Wednesday, May 28, 2008

Pemeliharaan Waktu

Kamis, 17 April 2008. Hari pertama sekolah usai liburan kenaikan kelas, yang sekaligus sebagai liburan musim semi. Meski ini liburan kenaikan kelas, ternyata tidak sama dengan di Indonesia, liburan ini justru yang paling singkat dibandingkan dua liburan lainnya. Total cuma sepuluh hari, itupun dengan memasukkan Sabtu dan Minggu juga. Padahal, libur musim dingin yang merupakan perpindahan dari cawu dua ke cawu tiga, bisa berlangsung selama hampir dua pekan. Apalagi liburan musim panas, yang merupakah masa perpindahan dari cawu pertama ke cawu kedua. Lamanya bisa sampai hampir satu setengah bulan.

Saya baru menyadari perasaan aneh yang meliputi pikiran dan perasaan terkait dengan salah satu sistim di Jepang ini. Aneh, karena anak-anak mulai sekolah dengan status baru : kalau dulu anak kelas tiga, kini kelas empat; di hari yang bukan Senin, tapi Jumat. Ya, memulai suatu aktifitas tahunan, ternyata tak selalu menunggu hari Senin. Apakah mungkin hanya ingatan saya saja yang salah; bahwa umumnya di Indonesia, setidaknya sekitar sepuluh tahunan yang lalu, hari sekolah, permulaan bekerja di kantor, selalu dimulai di hari Senin?

Hari ini, sepertinya satu lagi jawaban pertanyaan : apa yang membuat Jepang bisa maju dibandingkan banyak negara lain? Salah satunya mungkin adalah karena mereka lebih menghargai waktu daripada kebanyakan bangsa lain. Ini gambaran yang sifatnya umum. Bagaimana dengan sampel yang lebih spesifik?

Yah, mungkin persoalan memulai aktifitas besar seperti hari ini, memulai sekolah baru, atau memulai kerja di kantor bagi para pegawai baru, yang mengambil permulaan di hari Kamis. Seingat saya, tahun lalu, malah mulainya hari Jumat.

Kembali ke liburan kenaikan kelas yang sepuluh hari ini. Tak peduli hari apa jatuhnya, Senin-kah, atau Jumat-kah, mereka akan segera memulai sesuai agenda. Sepuluh hari ya sepuluh hari saja. Bulat. Tidak ada istilah "hari terjepit", yang perlu dijadikan pembenaran untuk minta tambahan libur.

Selain tidak ada hari terjepit, etos kerja masyarakat Jepang juga tercermin pada istilah lain yang dikenal dengan sebutan "in-time". Artinya tiba di tempat sepuluh menit sebelum acara. Saya melihat prinsip ini jadi sikap yang cukup kental mendarah daging di komunitas mereka pada berbagai acara bersama. Entah itu acara yang terkait dengan usaha jasa yang melibatkan sektor ekonomi, entah itu berkaitan dengan acara santai jalan-jalan dengan teman, bahkan dalam kegiatan yang sifatnya sukarela pun, kesungguhan masyarakat Jepang memelihara waktu, mudah terlihat.

Misalnya saja kegiatan kursus bahasa Jepang yang guru-gurunya adalah para sukarelawan. Yang namanya sukarelawan, ya tentu tidak dibayar. Tapi, pada kenyataannya, murid-muridlah yang sering terlambat, sedangkan para guru yang orang Jepang itu, biasanya sudah datang sepuluh menit sebelum waktu kursus dimulai. Saya biasa menyaksikan kedatangan para guru karena memang saya sengaja datang lebih cepat sekitar setengah jam sebelumnya, karena ingin mendapat waktu privat belajar di sana meski hanya di tempat duduk di luar kelas.

Cerita kepiawaian masyarakat Jepang memenej waktu juga terlihat pada proses pindahnya Toyota --pabrik mobil yang dalam ensiklopedia sains disebut menghasilkan mobil satu per enam detik-- dari satu gedung ke gedung lain. Bayangkan, satu gedung dengan puluhan tingkat, pindah ke gedung lain. Hanya perlu satu minggu untuk menuntaskannya. Hari pertama setelah proses pindah yang satu minggu itu, semua pegawai bisa bekerja normal seperti biasanya, tak kerepotan kehilangan atau mencari file-file dari gedung yang lama. Rencana pindah ini dipersiapkan selama empat tahun. Mereka menghitung berapa truk yang diperlukan, berapa lama proses mengangkat berapa peti ke dalam truk, berapa lama jarak tempuh truk dari gedung lama ke gedung lain, di mana parkirnya, pakai apa angkut petinya... dan lain-lain..., sampai ke hal yang sangat-sangat detil.

Budaya Kartu Nama


Salah satu budaya dalam masyarakat Jepang adalah budaya saling bertukar kartu nama, atau meishi (名詞). Setiap perusahaan Jepang yang establis biasanya akan membuatkan kartu nama gratis bagi para stafnya. Biasanya dibuat timbal balik, halaman yang satu memuat informasi dalam bahasa Jepang, halaman sebelahnya dalam bahasa Inggris. Meishi yang sifatnya berkaitan dengan kantor, biasanya tidak menyertakan nomor telepon pribadi, alamat pribadi, dan email pribadi.

Banyak jasa pembuatan kartu nama dengan bermacam-macam harga. Biasanya sekitaran 500 hingga 1000 yen, meski ada juga yang lebih mahal dari itu. Dewasa ini cukup mudah membuat kartu nama sendiri, bila sudah punya printer yang memadai. Bahkan banyak juga alat khusus mencetak di kartu nama, dari yang untuk keperluan "serius" sampai yang sekedar mainan anak, usia SD kelas empat ke atas hingga SMU. Biasanya mereka menggunakan alat ini untuk membuat kartu nama dengan model khas anak-anak dan remaja, penuh warna dan hiasan.

Seperti dalam banyak hal lain, masyarakat Jepang punya adab sendiri soal saling bertukar kartu nama.

Pertama, hendaklah orang yang lebih muda atau orang yang lebih di bawah posisinya, yang lebih dulu menyerahkan kartu namanya. Semisalnya kita baru pindah rumah, di lokasi yang baru, hendaklah kita sebagai pendatang baru, lebih dulu memberikan kartu nama pada tetangga yang kita anggap penting, seperti ketua RT atau tetangga yang tepat bersebelahan atau berhadapan rumah.

Kedua, saat menyerahkan kartu nama, pastikan posisinya terbalik dari kita sebagai si pemberi, dan tidak terbalik bagi si penerima. Artinya, begitu kita sodorkan, tulisan yang tertera di kartu nama tersebut segera bisa terbaca oleh yang kita sodori. Lebih sopan lagi menyerahkan dengan kedua tangan, dengan menjepit dua ujung kartu tersebut di antara jempol dan telunjuk tangan kiri dan kanan.

Ketiga, jangan sekali-kali memberi kartu nama yang sudah lecek, ada bekas lipatan, atau coretan. Itu bisa dianggap tidak sopan dan tidak berniat untuk menjadi kenalan dengan baik, bahkan bisa dianggap merendahkan.

Ibu-ibu rumah tangga biasanya cukup menyiapkan kartu nama kosong, dan mengisinya sesuai keperluan. Nomor telepon pribadi kadang-kadang ditambahkan dengan menulisnya sendiri saat hendak menyerahkan ke kenalan baru, bila dianggap perlu.

Orang Jepang biasanya punya kebiasaan segera memberi catatan pada kartu nama yang mereka terima, tentang latar belakang penerimaan kartu tersebut. Misalnya di mana dan dalam acara apa. Dengan demikian, mereka akan bisa mengingatkan kembali si empunya kartu nama di mana dan kapan mereka bertemu pertama kali bertukaran kartu nama.

Monday, February 12, 2007

Jepang : yang Berbeda dengan Negeri Rayuan Pulau Kelapa

1. Mudah menemukan taman bermain umum, yang lazim disebut ko-en (taman kecil). Di koen, biasanya ada fasilitas tempat duduk, permainan anak berupa perosotan, ayunan, tempat bergantungan atau panjatan, kolam pasir. Selain itu, juga tersedia kran air minum sekaligus kran cuci tangan. Semua sarana ini rutin dirawat oleh pemerintah lokal (kecamatan) ataupun penduduk setempat yang biasanya mengadakan kerja bakti kebersihan lingkungan minimal sebulan sekali. Kebetulan rumah kami tepat berhadapan dengan satu koen. Saya biasa menyaksikan bagaimana petugas kecamatan rutin memeriksa kondisi fasilitas koen. Pasir di kolam pasir diganti berkala, pohon yang terlalu lebat dipotong, rumput dipangkas, air minum dicek keamanannya. Mereka melakukan ini dengan gaya yang sangat profesional, sampai melakukan pemotretan dari berbagai sisi dengan kamera digital. Meski hujan ataupun panas, saya lihat mereka tetap mengerjakannya.

2. Pemilik toko berani menaruh barang dagangannya di luar toko tanpa pengawasan. Selain itu, kalau kita masuk toko, tidak bakalan ada petugas yang mengekori kita, apalagi dengan kasar segera membereskan barang yang sudah kita pegang.

3. Uang-uang kertas di Jepang biasanya sangat terawat. Agak sulit ditemukan uang yang lecek habis terlipat-lipat apalagi dikucek-kucek atau bahkan ditulisi.

4. Orang Jepang lebih banyak memakai sarana transportasi kereta dan sepeda. Ini menyebabkan polusi udara tidaklah banyak. Biasanya satu keluarga memiliki paling banyak satu mobil saja, mereka akan terheran-heran bila mengetahui di Indonesia, satu keluarga bisa memiliki dua-tiga mobil sekaligus. Ini karena mereka harus membayar parkir yang cukup mahal, sekitar Rp.600.000 perbulan permobil. Kalaupun mereka punya garasi sendiri, biasanya memang tidaklah besar, cukup untuk satu mobil. Nah, yang menarik adalah soal kepemilikan sepeda. Kalau ini, bisa satu anggota keluarga memiliki satu sepeda. Kami sendiri memiliki total lima sepeda. Anak kecil dilatih sedini mungkin untuk bisa bersepeda.

5. Orang Jepang biasanya makan makanan yang segar. Seorang ibu rumah tangga biasanya memasak tiga jenis masakan berbeda untuk tiga kali waktu makan yang berbeda. Mereka juga sangat mengutamakan variasi makanan. Suatu waktu saya pernah dalam perawatan medis, dan saya diminta memakan 30 jenis bahan makanan dalam sehari! Tidak masuk akal? Masuk akal kok. Coba saja diurut : bawang bombay, bawang putih, pisang, tomat, bayam, wortel, kentang, ikan, cabe, merica, jinten, susu, keju, roti, brokoli, timun, ... Ya, semua memang dihitung!

6. Untuk pecahan mata uang, mereka punya sampai pecahan 1 yen. Sehingga, tidak ada namanya sistem pembulatan angka dalam transaksi dagang.

7. Taksi biasanya agak jual mahal. Bila kita memesan taksi, biasanya mereka akan bertanya tujuan kita. Setelah itu, mereka akan menolak bila kita mengubah rencana. Tempat duduknya ditutup dengan kain putih berenda, yang supirnya tak segan-segan memprotes bila jadi kotor karena sepatu anak-anak, misalnya. Mereka juga biasanya enggan mengangkut penumpang ibu hamil tua, takut melahirkan di taksi, barangkali. Pintunya terbuka dan tertutup otomatis. Harga kilometer pertama sekitar Rp40.0000. Untuk jarak sekitar tiga km, biasanya tarifnya sekitar Rp100.000. Kelihatannya jauh lebih mahal daripada taksi di Indonesia, tapi memang jauh lebih nyaman. Tidak hanya bagi penumpang, juga buat lingkungan : jarang yang kondisnya sampai sudah mengeluarkan asap polutan. Oya, supir taksinya juga biasanya pakai setelan jaz dan sarung tangan putih. Menurut guru bahasa Jepang saya, hampir tidak ada kejahatan yang dimotori para supir taksi, seperti misalnya jadi perampok dan semacamnya. Mereka semua legal, dan memang menjadi supir taksi termasuk pekerjaan yang cukup elegan dalam masyarakat. Saya pernah naik taksi, dan supir taksi mengatakan, dia menyupir karena ingin mengumpulkan uang agar bisa membeli binatang peliharaan berupa babi mini.

Tuesday, September 05, 2006

Ketidakadilan Jender di Kekaisaran Jepang

Dimuat di : Kompas dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Laki-laki! Begitu kabar itu merebak di pagi tanggal 6 September lalu, kegembiraan pun meluap di seantero Jepang. Kelahiran bayi laki-laki pasangan Pangeran Akishino dan Putri Kiko itu juga segera menjadi berita utama media asing.

Kantor berita AP memberitakan detik-detik kelahiran sang bayi. BBC, Washington Post, Yahoo, Wikipedia dan media lainnya sudah memperbarui situsnya dengan berita tersebut dalam hitungan menit.

Setelah menunggu 41 tahun, akhirnya keluarga Kaisar Jepang mendapatkan anggota keluarga baru berjenis kelamin laki-laki. Bayi laki-laki itu kini berada di urutan ketiga ahli waris takhta kekaisaran setelah Putra Mahkota Naruhito dan Pangeran Akhisino (anak kedua Kaisar dan sekaligus ayah sang bayi).

Di balik kegembiraan menyambut sang bayi laki-laki itu, ada pertanyaan mendasar mengenai ketidakadilan jender yang mendera anggota kekaisaran berkelamin perempuan. Tahun-tahun sebelumnya, bukan nama Putri Kiko yang sering disebut media dan masyarakat Jepang, melainkan istri putra mahkota, yakni Putri Masako.

Entah bagaimana perasaannya setelah kelahiran bayi laki-laki itu, adakah dia merasa kalah, atau sebaliknya mendapatkan kembali kemerdekaannya, terlepas dari impitan kewajiban yang dibebankan negara kepadanya yang sebenarnya di luar kemampuan kebanyakan manusia?

Konon, sumber depresi terbesarnya selama ini karena tidak bisa memberi putra laki-laki, melainkan hanya seorang putri. Undang-Undang Kekaisaran Jepang Tahun 1947 yang mensyaratkan kelelakian untuk menjadi kaisar menjadi pemicu depresi putri diplomat yang sekaligus profesor di Universitas Harvard ini.

Pola tradisional

Menikah pada usia 30 tahun, Masako Owada harus rela melepas karier cemerlangnya mengikuti jejak sang ayah, menjadi diplomat. Masako juga lulusan Harvard dengan predikat magna cum laude. Masako juga pernah kuliah di Universitas Tokyo dan Universitas Oxford jurusan hubungan internasional. Prestasi akademik yang gemilang itu ternyata tak memberinya banyak kemudahan saat kembali berhadapan dengan pola kehidupan "tradisional" yang umumnya masih memandang perempuan tidak lebih sebagai mesin penghasil anak.

Putri Aiko, bayi sehat dan cantik itu, belum lagi bisa membaca koran, tetapi sudah jadi topik hangat dalam perdebatan di parlemen tentang undang-undang kekaisaran. Akankah undang-undang diubah agar kekaisaran tetap jatuh di garis darah yang semestinya?

Dua sepupu Putri Aiko, Putri Mako dan Putri Kako, memang sudah tereliminasi peluangnya sejak kelahiran Putri Aiko. Kedua putri itu adalah anak dari Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito, yang pada tahun 1990 menikahi Kawashimo Kiko.

Pernikahan tersebut mendapat sorotan agak negatif kala itu sebab baru pertama kali dalam sejarah Kekaisaran Jepang seorang pangeran menikahi rakyat biasa. Meskipun Putri Michiko, istri Kaisar Akihito, juga tak punya darah kebangsawanan, tetapi permaisuri kaisar itu berasal dari keluarga sangat kaya. Yang juga dianggap tabu, Pangeran Akishino menikah mendahului kakaknya, Putra Mahkota Naruhito. Kemudian, Pangeran Akishino dan juga calon istrinya, Kawashimo Kiko, masih berstatus mahasiswa S-1 di Universitas Gakushuin.

Berbeda dengan Putri Masako, Putri Kiko dinilai masyarakat Jepang masih pantas mewakili sosok perempuan tradisional Jepang. Meskipun juga melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di Amerika Serikat dan menyelesaikan studinya hingga mendapat gelar master di bidang psikologi dari Universitas Gakushuin pada tahun 1995, Putri Kiko tak pernah bekerja dan tak pernah aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti halnya Putri Masako yang sempat terlibat dalam diplomasi tingkat tinggi internasional.

Sosok Putri Masako sebagai figur perempuan modern Jepang kerap diulas media. Dari gaya rambut hingga cara sang putri tertawa begitu lebar dalam perjalanan wisatanya bersama keluarga Ratu Beatrix, Belanda, bulan Agustus lalu, mendapat sorotan berbagai kalangan. Diberitakan, perjalanan wisata ke Eropa bersama suami dan anaknya itu adalah bentuk pencarian kemerdekaan dari adat Kekaisaran Jepang yang dikenal sangat ketat.

Media dan masyarakat Jepang seperti memosisikan dua putri ini sebagai saingan satu sama lain, tetapi sama-sama hampir tak memenuhi harapan kekaisaran untuk melahirkan bayi laki-laki sebagai penerus takhta.

Di Rumah Sakit Aiiku, melalui persalinan caesar yang juga jadi persalinan caesar pertama dalam Kekaisaran Jepang, Putri Kiko pada usianya yang ke-39 melahirkan bayi laki-laki dengan bobot 2,588 kilogram.

Kini, media tak lagi menyorot wanita yang memegang nilai magna cum laude dari Universitas Harvard, tetapi dia mesti menerima kenyataan hingga kini gagal melahirkan bayi laki-laki untuk Kekaisaran Jepang. Sorotan kamera dan tulisan- tulisan media akan berganti fokus ke keluarga Putri Kiko. Perdebatan tentang undang- undang kekaisaran di parlemen untuk sementara akan mereda. Tetapi, gerangan apa jadinya bila kelak Putri Masako hamil lagi dan juga melahirkan bayi laki-laki?

Mengakar dalam

Putri Masako dan Putri Kiko adalah dua perempuan yang secara biologis tak punya keistimewaan apa-apa dibandingkan dengan perempuan lain. Akan tetapi, kehidupan keduanya yang diberitakan secara luas membawa pesan serius betapa ketidakadilan terhadap perempuan mengakar begitu dalam.

Ketidakadilan yang sama juga berlaku di banyak kelompok masyarakat dan sosial. Perempuan, entah berdarah ningrat atau tidak, umumnya dihadapkan pada pertanyaan rutin yang sama: setelah lewat masa remaja akan ditanyai kapan menikah?

Setelah menikah, akan ditanyai kapan punya anak? Setelah punya anak satu, akan ditanyai kapan memberi adiknya? Setelah punya beberapa anak, akan ditanyai lagi berapa laki-laki, berapa perempuan?

Di banyak tempat di Asia, misalnya, perempuan begitu terperangkap oleh beban sosial yang demikian berat. Kisah kedua putri di keluarga Kekaisaran Jepang ini kurang lebih ada refleksi dari ketidakadilan ini. Bedanya, jika perempuan kebanyakan hanya ditanyai keluarga, kerabat, dan lingkungan sekitarnya, maka Putri Masako dan Putri Aiko dibebani oleh keluarga kekaisaran dan juga negara sebab "adalah tugas mereka" melahirkan penerus takhta.

Pada hari yang dirayakan oleh hampir seluruh rakyat Jepang itu, saya menyaksikan potret buram dominasi patriarki yang mengerangkeng kedua putri itu. Bagaimana seandainya berita yang tersebar hari itu adalah "Seorang perempuan!" Putri Kiko melahirkan bayi perempuan yang cantik dan sehat. Akankah negara dan rakyat Jepang tetap menyambutnya sebagai pahlawan penyelamat generasi kekaisaran? ===