Wednesday, May 28, 2008

Pemeliharaan Waktu

Kamis, 17 April 2008. Hari pertama sekolah usai liburan kenaikan kelas, yang sekaligus sebagai liburan musim semi. Meski ini liburan kenaikan kelas, ternyata tidak sama dengan di Indonesia, liburan ini justru yang paling singkat dibandingkan dua liburan lainnya. Total cuma sepuluh hari, itupun dengan memasukkan Sabtu dan Minggu juga. Padahal, libur musim dingin yang merupakan perpindahan dari cawu dua ke cawu tiga, bisa berlangsung selama hampir dua pekan. Apalagi liburan musim panas, yang merupakah masa perpindahan dari cawu pertama ke cawu kedua. Lamanya bisa sampai hampir satu setengah bulan.

Saya baru menyadari perasaan aneh yang meliputi pikiran dan perasaan terkait dengan salah satu sistim di Jepang ini. Aneh, karena anak-anak mulai sekolah dengan status baru : kalau dulu anak kelas tiga, kini kelas empat; di hari yang bukan Senin, tapi Jumat. Ya, memulai suatu aktifitas tahunan, ternyata tak selalu menunggu hari Senin. Apakah mungkin hanya ingatan saya saja yang salah; bahwa umumnya di Indonesia, setidaknya sekitar sepuluh tahunan yang lalu, hari sekolah, permulaan bekerja di kantor, selalu dimulai di hari Senin?

Hari ini, sepertinya satu lagi jawaban pertanyaan : apa yang membuat Jepang bisa maju dibandingkan banyak negara lain? Salah satunya mungkin adalah karena mereka lebih menghargai waktu daripada kebanyakan bangsa lain. Ini gambaran yang sifatnya umum. Bagaimana dengan sampel yang lebih spesifik?

Yah, mungkin persoalan memulai aktifitas besar seperti hari ini, memulai sekolah baru, atau memulai kerja di kantor bagi para pegawai baru, yang mengambil permulaan di hari Kamis. Seingat saya, tahun lalu, malah mulainya hari Jumat.

Kembali ke liburan kenaikan kelas yang sepuluh hari ini. Tak peduli hari apa jatuhnya, Senin-kah, atau Jumat-kah, mereka akan segera memulai sesuai agenda. Sepuluh hari ya sepuluh hari saja. Bulat. Tidak ada istilah "hari terjepit", yang perlu dijadikan pembenaran untuk minta tambahan libur.

Selain tidak ada hari terjepit, etos kerja masyarakat Jepang juga tercermin pada istilah lain yang dikenal dengan sebutan "in-time". Artinya tiba di tempat sepuluh menit sebelum acara. Saya melihat prinsip ini jadi sikap yang cukup kental mendarah daging di komunitas mereka pada berbagai acara bersama. Entah itu acara yang terkait dengan usaha jasa yang melibatkan sektor ekonomi, entah itu berkaitan dengan acara santai jalan-jalan dengan teman, bahkan dalam kegiatan yang sifatnya sukarela pun, kesungguhan masyarakat Jepang memelihara waktu, mudah terlihat.

Misalnya saja kegiatan kursus bahasa Jepang yang guru-gurunya adalah para sukarelawan. Yang namanya sukarelawan, ya tentu tidak dibayar. Tapi, pada kenyataannya, murid-muridlah yang sering terlambat, sedangkan para guru yang orang Jepang itu, biasanya sudah datang sepuluh menit sebelum waktu kursus dimulai. Saya biasa menyaksikan kedatangan para guru karena memang saya sengaja datang lebih cepat sekitar setengah jam sebelumnya, karena ingin mendapat waktu privat belajar di sana meski hanya di tempat duduk di luar kelas.

Cerita kepiawaian masyarakat Jepang memenej waktu juga terlihat pada proses pindahnya Toyota --pabrik mobil yang dalam ensiklopedia sains disebut menghasilkan mobil satu per enam detik-- dari satu gedung ke gedung lain. Bayangkan, satu gedung dengan puluhan tingkat, pindah ke gedung lain. Hanya perlu satu minggu untuk menuntaskannya. Hari pertama setelah proses pindah yang satu minggu itu, semua pegawai bisa bekerja normal seperti biasanya, tak kerepotan kehilangan atau mencari file-file dari gedung yang lama. Rencana pindah ini dipersiapkan selama empat tahun. Mereka menghitung berapa truk yang diperlukan, berapa lama proses mengangkat berapa peti ke dalam truk, berapa lama jarak tempuh truk dari gedung lama ke gedung lain, di mana parkirnya, pakai apa angkut petinya... dan lain-lain..., sampai ke hal yang sangat-sangat detil.

Budaya Kartu Nama


Salah satu budaya dalam masyarakat Jepang adalah budaya saling bertukar kartu nama, atau meishi (名詞). Setiap perusahaan Jepang yang establis biasanya akan membuatkan kartu nama gratis bagi para stafnya. Biasanya dibuat timbal balik, halaman yang satu memuat informasi dalam bahasa Jepang, halaman sebelahnya dalam bahasa Inggris. Meishi yang sifatnya berkaitan dengan kantor, biasanya tidak menyertakan nomor telepon pribadi, alamat pribadi, dan email pribadi.

Banyak jasa pembuatan kartu nama dengan bermacam-macam harga. Biasanya sekitaran 500 hingga 1000 yen, meski ada juga yang lebih mahal dari itu. Dewasa ini cukup mudah membuat kartu nama sendiri, bila sudah punya printer yang memadai. Bahkan banyak juga alat khusus mencetak di kartu nama, dari yang untuk keperluan "serius" sampai yang sekedar mainan anak, usia SD kelas empat ke atas hingga SMU. Biasanya mereka menggunakan alat ini untuk membuat kartu nama dengan model khas anak-anak dan remaja, penuh warna dan hiasan.

Seperti dalam banyak hal lain, masyarakat Jepang punya adab sendiri soal saling bertukar kartu nama.

Pertama, hendaklah orang yang lebih muda atau orang yang lebih di bawah posisinya, yang lebih dulu menyerahkan kartu namanya. Semisalnya kita baru pindah rumah, di lokasi yang baru, hendaklah kita sebagai pendatang baru, lebih dulu memberikan kartu nama pada tetangga yang kita anggap penting, seperti ketua RT atau tetangga yang tepat bersebelahan atau berhadapan rumah.

Kedua, saat menyerahkan kartu nama, pastikan posisinya terbalik dari kita sebagai si pemberi, dan tidak terbalik bagi si penerima. Artinya, begitu kita sodorkan, tulisan yang tertera di kartu nama tersebut segera bisa terbaca oleh yang kita sodori. Lebih sopan lagi menyerahkan dengan kedua tangan, dengan menjepit dua ujung kartu tersebut di antara jempol dan telunjuk tangan kiri dan kanan.

Ketiga, jangan sekali-kali memberi kartu nama yang sudah lecek, ada bekas lipatan, atau coretan. Itu bisa dianggap tidak sopan dan tidak berniat untuk menjadi kenalan dengan baik, bahkan bisa dianggap merendahkan.

Ibu-ibu rumah tangga biasanya cukup menyiapkan kartu nama kosong, dan mengisinya sesuai keperluan. Nomor telepon pribadi kadang-kadang ditambahkan dengan menulisnya sendiri saat hendak menyerahkan ke kenalan baru, bila dianggap perlu.

Orang Jepang biasanya punya kebiasaan segera memberi catatan pada kartu nama yang mereka terima, tentang latar belakang penerimaan kartu tersebut. Misalnya di mana dan dalam acara apa. Dengan demikian, mereka akan bisa mengingatkan kembali si empunya kartu nama di mana dan kapan mereka bertemu pertama kali bertukaran kartu nama.