Tuesday, September 05, 2006

Ketidakadilan Jender di Kekaisaran Jepang

Dimuat di : Kompas dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Laki-laki! Begitu kabar itu merebak di pagi tanggal 6 September lalu, kegembiraan pun meluap di seantero Jepang. Kelahiran bayi laki-laki pasangan Pangeran Akishino dan Putri Kiko itu juga segera menjadi berita utama media asing.

Kantor berita AP memberitakan detik-detik kelahiran sang bayi. BBC, Washington Post, Yahoo, Wikipedia dan media lainnya sudah memperbarui situsnya dengan berita tersebut dalam hitungan menit.

Setelah menunggu 41 tahun, akhirnya keluarga Kaisar Jepang mendapatkan anggota keluarga baru berjenis kelamin laki-laki. Bayi laki-laki itu kini berada di urutan ketiga ahli waris takhta kekaisaran setelah Putra Mahkota Naruhito dan Pangeran Akhisino (anak kedua Kaisar dan sekaligus ayah sang bayi).

Di balik kegembiraan menyambut sang bayi laki-laki itu, ada pertanyaan mendasar mengenai ketidakadilan jender yang mendera anggota kekaisaran berkelamin perempuan. Tahun-tahun sebelumnya, bukan nama Putri Kiko yang sering disebut media dan masyarakat Jepang, melainkan istri putra mahkota, yakni Putri Masako.

Entah bagaimana perasaannya setelah kelahiran bayi laki-laki itu, adakah dia merasa kalah, atau sebaliknya mendapatkan kembali kemerdekaannya, terlepas dari impitan kewajiban yang dibebankan negara kepadanya yang sebenarnya di luar kemampuan kebanyakan manusia?

Konon, sumber depresi terbesarnya selama ini karena tidak bisa memberi putra laki-laki, melainkan hanya seorang putri. Undang-Undang Kekaisaran Jepang Tahun 1947 yang mensyaratkan kelelakian untuk menjadi kaisar menjadi pemicu depresi putri diplomat yang sekaligus profesor di Universitas Harvard ini.

Pola tradisional

Menikah pada usia 30 tahun, Masako Owada harus rela melepas karier cemerlangnya mengikuti jejak sang ayah, menjadi diplomat. Masako juga lulusan Harvard dengan predikat magna cum laude. Masako juga pernah kuliah di Universitas Tokyo dan Universitas Oxford jurusan hubungan internasional. Prestasi akademik yang gemilang itu ternyata tak memberinya banyak kemudahan saat kembali berhadapan dengan pola kehidupan "tradisional" yang umumnya masih memandang perempuan tidak lebih sebagai mesin penghasil anak.

Putri Aiko, bayi sehat dan cantik itu, belum lagi bisa membaca koran, tetapi sudah jadi topik hangat dalam perdebatan di parlemen tentang undang-undang kekaisaran. Akankah undang-undang diubah agar kekaisaran tetap jatuh di garis darah yang semestinya?

Dua sepupu Putri Aiko, Putri Mako dan Putri Kako, memang sudah tereliminasi peluangnya sejak kelahiran Putri Aiko. Kedua putri itu adalah anak dari Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito, yang pada tahun 1990 menikahi Kawashimo Kiko.

Pernikahan tersebut mendapat sorotan agak negatif kala itu sebab baru pertama kali dalam sejarah Kekaisaran Jepang seorang pangeran menikahi rakyat biasa. Meskipun Putri Michiko, istri Kaisar Akihito, juga tak punya darah kebangsawanan, tetapi permaisuri kaisar itu berasal dari keluarga sangat kaya. Yang juga dianggap tabu, Pangeran Akishino menikah mendahului kakaknya, Putra Mahkota Naruhito. Kemudian, Pangeran Akishino dan juga calon istrinya, Kawashimo Kiko, masih berstatus mahasiswa S-1 di Universitas Gakushuin.

Berbeda dengan Putri Masako, Putri Kiko dinilai masyarakat Jepang masih pantas mewakili sosok perempuan tradisional Jepang. Meskipun juga melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di Amerika Serikat dan menyelesaikan studinya hingga mendapat gelar master di bidang psikologi dari Universitas Gakushuin pada tahun 1995, Putri Kiko tak pernah bekerja dan tak pernah aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti halnya Putri Masako yang sempat terlibat dalam diplomasi tingkat tinggi internasional.

Sosok Putri Masako sebagai figur perempuan modern Jepang kerap diulas media. Dari gaya rambut hingga cara sang putri tertawa begitu lebar dalam perjalanan wisatanya bersama keluarga Ratu Beatrix, Belanda, bulan Agustus lalu, mendapat sorotan berbagai kalangan. Diberitakan, perjalanan wisata ke Eropa bersama suami dan anaknya itu adalah bentuk pencarian kemerdekaan dari adat Kekaisaran Jepang yang dikenal sangat ketat.

Media dan masyarakat Jepang seperti memosisikan dua putri ini sebagai saingan satu sama lain, tetapi sama-sama hampir tak memenuhi harapan kekaisaran untuk melahirkan bayi laki-laki sebagai penerus takhta.

Di Rumah Sakit Aiiku, melalui persalinan caesar yang juga jadi persalinan caesar pertama dalam Kekaisaran Jepang, Putri Kiko pada usianya yang ke-39 melahirkan bayi laki-laki dengan bobot 2,588 kilogram.

Kini, media tak lagi menyorot wanita yang memegang nilai magna cum laude dari Universitas Harvard, tetapi dia mesti menerima kenyataan hingga kini gagal melahirkan bayi laki-laki untuk Kekaisaran Jepang. Sorotan kamera dan tulisan- tulisan media akan berganti fokus ke keluarga Putri Kiko. Perdebatan tentang undang- undang kekaisaran di parlemen untuk sementara akan mereda. Tetapi, gerangan apa jadinya bila kelak Putri Masako hamil lagi dan juga melahirkan bayi laki-laki?

Mengakar dalam

Putri Masako dan Putri Kiko adalah dua perempuan yang secara biologis tak punya keistimewaan apa-apa dibandingkan dengan perempuan lain. Akan tetapi, kehidupan keduanya yang diberitakan secara luas membawa pesan serius betapa ketidakadilan terhadap perempuan mengakar begitu dalam.

Ketidakadilan yang sama juga berlaku di banyak kelompok masyarakat dan sosial. Perempuan, entah berdarah ningrat atau tidak, umumnya dihadapkan pada pertanyaan rutin yang sama: setelah lewat masa remaja akan ditanyai kapan menikah?

Setelah menikah, akan ditanyai kapan punya anak? Setelah punya anak satu, akan ditanyai kapan memberi adiknya? Setelah punya beberapa anak, akan ditanyai lagi berapa laki-laki, berapa perempuan?

Di banyak tempat di Asia, misalnya, perempuan begitu terperangkap oleh beban sosial yang demikian berat. Kisah kedua putri di keluarga Kekaisaran Jepang ini kurang lebih ada refleksi dari ketidakadilan ini. Bedanya, jika perempuan kebanyakan hanya ditanyai keluarga, kerabat, dan lingkungan sekitarnya, maka Putri Masako dan Putri Aiko dibebani oleh keluarga kekaisaran dan juga negara sebab "adalah tugas mereka" melahirkan penerus takhta.

Pada hari yang dirayakan oleh hampir seluruh rakyat Jepang itu, saya menyaksikan potret buram dominasi patriarki yang mengerangkeng kedua putri itu. Bagaimana seandainya berita yang tersebar hari itu adalah "Seorang perempuan!" Putri Kiko melahirkan bayi perempuan yang cantik dan sehat. Akankah negara dan rakyat Jepang tetap menyambutnya sebagai pahlawan penyelamat generasi kekaisaran? ===

Wednesday, August 30, 2006

Musim Panas di Jepang

Mungkin, banyak penduduk daerah tropis yang berpikir, musim panas di daerah empat musim, sama saja dengan cuaca sepanjang tahun di tempat mereka yang hanya dua musim. Pertanyaan seperti itu sering juga diajukan orang-orang Jepang kepada saya. Umumnya mereka mengira, para pendatang yang berasal dari daerah panas, tentunya tidak akan kewalahan menghadapi musim panas di negara ini.

Ketika baru datang, saya juga tak cemas menghadapi musim panas di pertama. Justru musim dinginlah yang lebih mengkhawatirkan buat saya. Namun ternyata, melewati satu-dua kali pergantian seluruh musim, saya sampai pada kesimpulan bahwa musim panas terasa lebih berat daripada musim dingin.

"Mushi-atsui", begitulah orang-orang Jepang menyifati musim panas di negara mereka. Lembab dan panas. Penggambaran mudahnya seperti ini : kalau di Indonesia, bila kita berteduh di bawah pohon, rasanya adem. Apalagi kalau ada angin bertiup. Tapi kalau di Jepang dengan muism panas yang mushi-atsui itu, bernaung di bawah bayangan tak banyak mengurangi rasa gerah. Kelembaban udara sangat tinggi, sehingga keringat tak cepat menguap. Akibatnya, permukaan kulit jadi terasa lengket dan menambah rasa tak nyaman.

Mushi atsui bisa menurunkan nafsu makan dan mengakibatkan kelesuan. Kondisi ini disebut, natsu bate. Mungkin itu sebabnya, di musim panas banyak kegiatan yang diliburkan. Seperti misalnya anak sekolah, umumnya mereka libur selama satu bulan lebih. Sedangkan para pegawai kantoran, rata-rata sekitar 7-10 hari kerja, dan ada juga yang tiap hari tetap masuk namun dengan jam kerja yang lebih singkat.

Bersahabat dengan Serangga

Musim liburan panjang ini dimanfaatkan masyarakat Jepang dengan mengadakan beragam acara menarik. Kebanyakan berupa kegiatan-kegiatan yang bersentuhan langsung dengan alam. Seperti misalnya, untuk anak-anak, mereka akan seperti berlomba-lomba mengumpulkan aneka macam serangga. Pemandangan anak-anak yang membawa jaring-jaring penangkap dan kotak serangga, menjadi bagian khas musim panas di Jepang.

"Raja" serangga di musim panas yang jadi favorit adalah kabutomushi, atau dikenal di Indonesia dengan sebutan kumbang kelapa. Mereka berlomba-lomba mencarinya di pohon-pohon di taman sekitar tempat tinggal, bahkan ada juga yang dengan sengaja pergi ke hutan beramai-ramai sebagai bentuk kegiatan rekreasi kelompok. Selain mencari sendiri, toko-toko binatang peliharaan juga toko mainan anak, biasanya menjual serangga ini. Harganya relatif cukup mahal, berkisar di antara Y2.000 - Y10.000, atau sekitar Rp160.000-Rp800.000 perekor. Bahkan beberapa yang jenisnya spesial, di pasaran harganya bisa mencapai sekitar puluhan juta rupiah. Kabutomushi asal Indonesia, umumnya berasal dari Sumatera, Kaliman dan Sulawesi, juga cukup terkenal dan digemari.

Orang-orang Jepang biasa bermain adu kekuatan antar kabutomushi, sebagaimana di Indonesia ada permainan sabung ayam. Bentuk permainannya seperti pertandingan sumo. Dibuat satu lingkaran sebagai arena bertanding, dan kedua binatang yang dipertandingkan mesti mengangkat lawannya sampai keluar dari lingkaran itu, atau membalikkan badan lawan hingga berposisi punggung di bawah, kaki di atas. Yang bertahan di dalam lingkaran atau tetap dalam posisi berdiri sempurna, itulah pemenangnya. Beberapa saluran televisi menjadikan acara ini sebagai tayangan spesial mereka.

Hanabi

Acara lain yang sangat khas di musim panas di Jepang adalah hanabi, atau kembang api. Dibandingkan Amerika umumnya, kembang api di Jepang terkenal lebih indah dan banyak variasinya. Acara biasanya gratis, siapa saja boleh datang ke tempat-tempat di mana pentas kembang api ini bisa disaksikan. Umumnya berlangsung sekitar jam tujuh sampai jam delapan malam, di saat udara panas sudah digantikan dengan udara sejuk karena matahari sudah terbenam sekitar tiga puluh menit sebelumnya.

Beberapa yang cukup terkenal di Jepang bagian selatan adalah hanabi di Enoshima, Yokohama, dan Asakusa. Umumnya lokasi peledakan kembang api dan tempat orang duduk menonton, dipisahkan dengan laut. Selain mengurangi resiko para penonton terkena percikan api, jarak yang dipisahkan oleh laut ini membuat pemandangan menjadi semakin indah. Cahaya kembang api yang bermekaran bergantian di atas terpantul di permukaan laut.

Pada acara hanabi, orang-orang Jepang biasanya mengenakan busana tradisional yang disebut yukata. Bentuknya seperti kimono, tapi terbuat dari bahan katun, tipis, dan umumnya bercorak warna-warna cerah untuk wanita, sedangkan untuk pria biasanya berwarna biru, abu-abu, atau putih dengan motif gambar kecil-kecil. Harganya relatif jauh lebih murah dibandingkan kimono. Berkisar Y4.000-Y10.000, atau Rp250.000-Rp800.000 perset. Kimono sendiri, biasanya sekitar empat-enam kali harga yukata, atau bahkan lebih dari itu.

Pergi menyaksikan hanabi, tak ubahnya pergi menyaksikan pertunjukan orang-orang terkenal. Bedanya cuma, tidak perlu beli tiket masuk dan tak ada figur tertentu di atas pentas. Namun untuk kenyamanan dan keselamatan, sama-sama tetap perlu disiasati tumpah ruahnya penonton. Misalnya saja, dengan datang lebih awal, duduk di tempat yang lebih mudah sampai ke stasiun kereta jalur pulang, atau lebih dulu meninggalkan tempat pertunjukan, sebelum pentas hanabi benar-benar usai. Bila terjebak pada puncak arus pergi atau pulang, ada kemungkinan sulit masuk ke dalam kereta lantaran sudah sangat penuh, ataupun kemungkinan-kemungkinan kecelakaan lainnya seperti terjatuh atau terhimpit kerumunan massa. Biasanya, orang-orang Jepang bila pergi melihat hanabi, sudah mengantisipasi kemungkinan seperti ini. Mereka jarang terlihat membawa tas besar yang tentunya akan lebih menyusahkan gerak badan di tengah padatnya manusia, lebih dulu membeli karcis kereta, pergi dan pulang sekaligus.

Kingyo Sukui

Ada lagi acara unik lainnya yang cukup kental mewarnai musim panas di Jepang. "Kingyo sukui", begitu istilah yang akrab didengar. Kingyo artinya ikan mas, sukui berarti memungut atau menciduk. Diadakan di jalan raya, yang memang sudah dikondisikan untuk festival ini, seperti dipasangnya aneka umbul-umbul, lampion, dan penjaja makanan serta mainan anak, dari yang tradisional sampai yang buatan pabrik. Sarananya adalah kolam berbentuk panjang, diletakkan tepat di tengah jalan raya. Kolam panjang itu diisi air dan ratusan ikan mas kecil, juga ada beberapa ikan jenis lain yang juga relatif kecil ukurannya.

Kingyo Sukui di Fujisawa Ginza yang diadakan pada tahun 2002, tercatat sebagai kingyo sukui terpanjang di dunia. Panjang kolamnya 100,8 meter, dengan jumlah peserta sekitar 60.000 orang. Tahun ini, acara yang sama di tempat yang sama, kolamnya hanya sepanjang 63 meter, dengan jumlah ikan yang dimasukkan sekitar 45.000 ekor.

Bagi yang ingin mencoba menangkap ikan, mesti membeli satu alat penangkap khusus. Jaringnya terbuat dari kertas, yang mudah rusak bila terkena air. Biasanya harga satuannya Y200, atau Rp16.000. Selain itu, juga diberikan mangkok gabus yang bisa jadi tempat sementara bila ada ikan yang berhasil ditangkap. Dengan dua alat ini, peserta boleh mencoba menangkap ikan sebanyak-banyaknya, sampai jaring kertas penangkapnya rusak lantaran berkali-kali dicelupkan ke air.

Beberapa peserta terlihat ada yang pintar dan mengenali kecenderungan ikan-ikan tersebut. Dengan sengaja dia memposisikan mangkuknya di atas air, sehingga ikan-ikan berkumpul di bawahnya, seperti mencari naungan untuk bersembunyi dari tempat terbuka. Dengan demikian mudahlah ia menangkap beberapa ekor sekaligus.

Musim panas di Jepang dengan segala kemeriahannya sebentar lagi berakhir. Namun indahnya daun-daun yang memerah dan menguning di musim gugur juga tak kalah menarik untuk dinikmati.

Wednesday, April 26, 2006

Menjelang Kematian

Seorang kawan belajar bahasa Jepang saya bercerita : istrinya bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Pekerjaannya adalah mengurus orang-orang yang sudah diperkirakan akan meninggal. Memang, istrinya mengalami berkali-kali perpisahan dengan kawan-kawan yang dirawatnya itu, bahkan menemani mereka di saat sakaratul maut. Berat katanya.

Yang menarik, informasi dari kawan saya itu. Bahwa di Jepang ini, biasanya orang sudah bisa memprediksikan usianya. Dan kalau diagnosa dokter sudah menetapkan perkiraan umurnya, maka menjelang kematian, mereka akan rawat inap di rumah sakit. Berbeda dengan negara asalnya, orang meninggal bukan di rumah sakit adalah hal yang biasa.

Hm, apa begitu? Mungkin yang dia hadapi hanyalah kasus yang memang terdata. Saya pikir banyak juga orang Jepang yang meninggal begitu saja bukan di rumah sakit, tanpa persiapan.

Tapi entahlah, karena ketika bayi teman saya meninggal di rumah, memang ada prosedur yang cukup ribet dilakukan pihak kepolisian dan pihak rumah sakit. Kata mereka waktu itu, meninggal di rumah memang lebih merepotkan daripada meninggal di rumah sakit.

Huh?

Wednesday, March 29, 2006

Melihat Gigi Sendiri Diperiksa


Jepang, kembali meluncurkan satu terobosan baru dalam bidang kedokteran : pasien gigi bisa melihat proses perawatan giginya!

Saya menonton berita ini tadi pagi, 30 Maret 2006 di NHK-saluran 1. Dan setelah melakukan pencarian di internet, saya menemukan berita ini dengan tanggal publikasi : Agustus 2005. Di dalam artikel ini, dikatakan bahwa proyek ini baru dimulai. Namun tadi dalam penayangan NHK, diumumkan bahwa terobosan ini sudah mulai dipakai di rumah sakit-rumah sakit. Jadi, dalam waktu tujuh bulan mereka berhasil memasarkan temuan yang baik dan brilian ini.

Beritanya saya copy and paste di sini saja sekalian :

Fortnightly Column: Team Tsukamoto's "Let's Go Wearable!"Part 3: New Style of Communication between Doctor and Patient
In this week's column, we bring you the Dental Project, an example of applying a wearable system in a medical worksite to aid communication between doctor and patient. This system has not only been tested by Professor Tsukamoto, but is already being adopted for other patients. The possibility of putting this system on display at Team Tsukamoto's booth at CEATEC JAPAN 2005 is currently being considered, so hopefully you'll get to see how it works firsthand.

Dentist Uses an HMD
Camera films inside the mouth

There are probably many people who, on hearing the word "dentist," imagine the screeching sound of a drill inside their mouths. Because we cannot see the treatment we receive while in the dentist's chair, the sound of the drill undoubtedly seems louder than it actually is. However, if patients were to wear an HMD (head-mounted display) in the chair, they would be able to see all the action."You've got a lot of cavities, 10 or so." These words were uttered to Professor Tsukamoto, Chairman of Team Tsukamoto, by dentist Hiromitsu Shimizu at his dental clinic in Otsuki, Osaka. The occasion was the reunion in March 2005 of the two men, who had been classmates at junior and senior high school. To celebrate the reunion, Dr. Shimizu gave Professor Tsukamoto a dental examination. This marked the beginning of the Dental Project.

Professor Tsukamoto goes to the Shimizu Dental Clinic every Saturday evening. Once he's in the dentist's chair he sets out a variety of devices. "Could you put these on today," he commands the dentist and the hygienist in a somewhat insolent tone. He gets them to film his teeth using a mouth camera, and the dentist explains the situation while both dentist and patient look at the images on screen. Dr. Shimizu says: "I used to have a mouth camera, but the way I used it, after I'd taken the photos I'd sit the patient up and explain what I could see. But if I use an HMD, I can explain what I'm seeing while I'm filming with the camera." He adds that this method will lead to greater operational efficiency.

Professor Tsukamoto puts a video camera on the table next to the chair and connects it to an HMD, so he can view his own examination. Dr. Shimizu remarks: "I suppose there are only a few people who would want to actually see their dental examination?" Professor Tsukamoto replies: "I disagree. It's just that they're used to not seeing what is going on. Once viewing becomes a matter of course I'm sure that people will feel frightened if they can't see what's going on." Meanwhile, Professor Tsukamoto is enjoying the sight of his teeth being scraped.

Can Wearable Computing Make Medical Treatment Enjoyable?

On another day, Professor Tsukamoto sits on the chair wearing his usual PC and HMD, and during treatment he begins to tap. A synthetic voice echoes around the room. "It's a little sore." "What?" asks Dr. Shimizu. "It's a little sore."It's extremely hard to hear the computer-synthesized voice in the exam room, where there is a lot of noise. However, a patient who is having his or her teeth treated is usually unable to communicate. Using a wearable computer makes this possible. Professor Tsukamoto says: "Since we're still in the initial testing stage it's not very practical, but I intend to make something that's easier to use."Although it would appear that using wearable devices has been considered for serious medical use, such as for surgery and diagnosis, there is probably a method that is more convenient and more fun for patient and doctor to use.

Professor Tsukamoto says, "The project has only just begun. It should be possible for wearable computing to play a part in facilitating more communication between patient and doctor in a way that is more fun." He tries out something new with each visit. The laughter of Professor Tsukamoto and Dr. Shimizu in this type of medical setting is too much. The enthusiasm of the pair is no doubt reminiscent of their high school days as one says to the other: "We should do a comedy skit." Professor Tsukamoto's cavity treatment continues.
(By Masahiko Tsukamoto)

Patient communicates using a PC
Dentist Hiromitsu Shimizu

Days in the Life of Professor Tsukamoto (the Master of Wearable Computing)
August 31:My KeyboardMy keyboard was playing up, so I bought a new one. My old one would turn itself on and off of its own free will. Maybe some of the internal wiring became disconnected. Or, was the mother board broken? The other day when I was participating in a panel discussion, my intention was to speak while taking notes with my keyboard on the table. But my attention was diverted to my keyboard because it was acting up, so my comments didn't make much sense and I made a mess of things. The total time was extremely short so I didn't get another turn to speak, although someone told me that I came across okay...My new keyboard was made by a different manufacturer. The size is about the same, but the response of the keys is extremely bad. I thought it might be defective, because I have to push down hard on the keys to make them work. It's hard enough when I'm using it at a desk, but it's virtually impossible when I'm standing or walking. At first, I thought the problem was my poor typing technique, but that can't be the reason because I can even type using an old typewriter. I was wondering whether to take it back to be repaired, but it'll take some courage to do that. Even in today's meeting, I was so caught up in pressing the keys that I couldn't concentrate on what was being said. I've found that the state of my input device makes a big difference to how well the day goes.

--------------------------------
ProfileTeam TsukamotoOfficial name: Wearable Computer Research and Development OrganizationAn industry-government-university research and development group involved in wearable ubiquitous computing and HMDs, spearheaded by Professor Masahiko Tsukamoto of the Department of Electric and Electronic Engineering, Engineering Faculty, Kobe UniversityThe Team's ChairmanMasahiko TsukamotoProfessorDepartment of Electrical and Electronics EngineeringFaculty of EngineeringKobe UniversityTo people in the know, he is the Master of Wearable Computing. For better or for worse, Professor Tsukamoto is responsible for promoting the current image of wearable computing. He has been wearing an HMD in daily life for more than four and a half years. Those who catch sight of him once are not likely to forget him.Born in 1964, Professor Tsukamoto graduated with a Bachelor's Degree in Engineering from Kyoto University in 1987. After obtaining a Master's Degree in Systems Engineering in 1989, he joined Sharp Corporation, where he worked as a research engineer. In March 1995, he joined the Department of Information Systems Engineering at Osaka University as an assistant professor, becoming an associate professor in 1996. In 2002, he became an associate professor in multimedia engineering. In October 2004, he joined the Electric and Electronic Engineering Department of the Engineering Faculty of Kobe University.

Thursday, March 23, 2006

Mandi Pagi vs Mandi Malam

"Kehidupan baru terasa di 'komunitas' itu ketika jarum jam menjelang pukul 09.00 wita. Para payabo (pemulung) telah bangun dari tidurnya dan bergegas membersihkan badan di sumur ataupun kamar mandi berdinding seng bekas dan beratap langit belaka, buatan sendiri. " (Makassar Nol Kilometer, p.58)

--------------

Membaca kalimat di atas, saya jadi memikirkan mengapakah budaya bersih-bersih badan di tempat kelahiranku, biasanya dilakukan di pagi hari?

Di Jepang, orang biasanya membersihkan badan pada malam hari. Itu karena di pagi hari mereka harus bisa bergerak cepat. Tidur pun juga harus betul-betul efektif, nyenyak, dengan keharuman dan terhindar dari gatal-gatal.