Tuesday, September 05, 2006

Ketidakadilan Jender di Kekaisaran Jepang

Dimuat di : Kompas dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Laki-laki! Begitu kabar itu merebak di pagi tanggal 6 September lalu, kegembiraan pun meluap di seantero Jepang. Kelahiran bayi laki-laki pasangan Pangeran Akishino dan Putri Kiko itu juga segera menjadi berita utama media asing.

Kantor berita AP memberitakan detik-detik kelahiran sang bayi. BBC, Washington Post, Yahoo, Wikipedia dan media lainnya sudah memperbarui situsnya dengan berita tersebut dalam hitungan menit.

Setelah menunggu 41 tahun, akhirnya keluarga Kaisar Jepang mendapatkan anggota keluarga baru berjenis kelamin laki-laki. Bayi laki-laki itu kini berada di urutan ketiga ahli waris takhta kekaisaran setelah Putra Mahkota Naruhito dan Pangeran Akhisino (anak kedua Kaisar dan sekaligus ayah sang bayi).

Di balik kegembiraan menyambut sang bayi laki-laki itu, ada pertanyaan mendasar mengenai ketidakadilan jender yang mendera anggota kekaisaran berkelamin perempuan. Tahun-tahun sebelumnya, bukan nama Putri Kiko yang sering disebut media dan masyarakat Jepang, melainkan istri putra mahkota, yakni Putri Masako.

Entah bagaimana perasaannya setelah kelahiran bayi laki-laki itu, adakah dia merasa kalah, atau sebaliknya mendapatkan kembali kemerdekaannya, terlepas dari impitan kewajiban yang dibebankan negara kepadanya yang sebenarnya di luar kemampuan kebanyakan manusia?

Konon, sumber depresi terbesarnya selama ini karena tidak bisa memberi putra laki-laki, melainkan hanya seorang putri. Undang-Undang Kekaisaran Jepang Tahun 1947 yang mensyaratkan kelelakian untuk menjadi kaisar menjadi pemicu depresi putri diplomat yang sekaligus profesor di Universitas Harvard ini.

Pola tradisional

Menikah pada usia 30 tahun, Masako Owada harus rela melepas karier cemerlangnya mengikuti jejak sang ayah, menjadi diplomat. Masako juga lulusan Harvard dengan predikat magna cum laude. Masako juga pernah kuliah di Universitas Tokyo dan Universitas Oxford jurusan hubungan internasional. Prestasi akademik yang gemilang itu ternyata tak memberinya banyak kemudahan saat kembali berhadapan dengan pola kehidupan "tradisional" yang umumnya masih memandang perempuan tidak lebih sebagai mesin penghasil anak.

Putri Aiko, bayi sehat dan cantik itu, belum lagi bisa membaca koran, tetapi sudah jadi topik hangat dalam perdebatan di parlemen tentang undang-undang kekaisaran. Akankah undang-undang diubah agar kekaisaran tetap jatuh di garis darah yang semestinya?

Dua sepupu Putri Aiko, Putri Mako dan Putri Kako, memang sudah tereliminasi peluangnya sejak kelahiran Putri Aiko. Kedua putri itu adalah anak dari Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito, yang pada tahun 1990 menikahi Kawashimo Kiko.

Pernikahan tersebut mendapat sorotan agak negatif kala itu sebab baru pertama kali dalam sejarah Kekaisaran Jepang seorang pangeran menikahi rakyat biasa. Meskipun Putri Michiko, istri Kaisar Akihito, juga tak punya darah kebangsawanan, tetapi permaisuri kaisar itu berasal dari keluarga sangat kaya. Yang juga dianggap tabu, Pangeran Akishino menikah mendahului kakaknya, Putra Mahkota Naruhito. Kemudian, Pangeran Akishino dan juga calon istrinya, Kawashimo Kiko, masih berstatus mahasiswa S-1 di Universitas Gakushuin.

Berbeda dengan Putri Masako, Putri Kiko dinilai masyarakat Jepang masih pantas mewakili sosok perempuan tradisional Jepang. Meskipun juga melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di Amerika Serikat dan menyelesaikan studinya hingga mendapat gelar master di bidang psikologi dari Universitas Gakushuin pada tahun 1995, Putri Kiko tak pernah bekerja dan tak pernah aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti halnya Putri Masako yang sempat terlibat dalam diplomasi tingkat tinggi internasional.

Sosok Putri Masako sebagai figur perempuan modern Jepang kerap diulas media. Dari gaya rambut hingga cara sang putri tertawa begitu lebar dalam perjalanan wisatanya bersama keluarga Ratu Beatrix, Belanda, bulan Agustus lalu, mendapat sorotan berbagai kalangan. Diberitakan, perjalanan wisata ke Eropa bersama suami dan anaknya itu adalah bentuk pencarian kemerdekaan dari adat Kekaisaran Jepang yang dikenal sangat ketat.

Media dan masyarakat Jepang seperti memosisikan dua putri ini sebagai saingan satu sama lain, tetapi sama-sama hampir tak memenuhi harapan kekaisaran untuk melahirkan bayi laki-laki sebagai penerus takhta.

Di Rumah Sakit Aiiku, melalui persalinan caesar yang juga jadi persalinan caesar pertama dalam Kekaisaran Jepang, Putri Kiko pada usianya yang ke-39 melahirkan bayi laki-laki dengan bobot 2,588 kilogram.

Kini, media tak lagi menyorot wanita yang memegang nilai magna cum laude dari Universitas Harvard, tetapi dia mesti menerima kenyataan hingga kini gagal melahirkan bayi laki-laki untuk Kekaisaran Jepang. Sorotan kamera dan tulisan- tulisan media akan berganti fokus ke keluarga Putri Kiko. Perdebatan tentang undang- undang kekaisaran di parlemen untuk sementara akan mereda. Tetapi, gerangan apa jadinya bila kelak Putri Masako hamil lagi dan juga melahirkan bayi laki-laki?

Mengakar dalam

Putri Masako dan Putri Kiko adalah dua perempuan yang secara biologis tak punya keistimewaan apa-apa dibandingkan dengan perempuan lain. Akan tetapi, kehidupan keduanya yang diberitakan secara luas membawa pesan serius betapa ketidakadilan terhadap perempuan mengakar begitu dalam.

Ketidakadilan yang sama juga berlaku di banyak kelompok masyarakat dan sosial. Perempuan, entah berdarah ningrat atau tidak, umumnya dihadapkan pada pertanyaan rutin yang sama: setelah lewat masa remaja akan ditanyai kapan menikah?

Setelah menikah, akan ditanyai kapan punya anak? Setelah punya anak satu, akan ditanyai kapan memberi adiknya? Setelah punya beberapa anak, akan ditanyai lagi berapa laki-laki, berapa perempuan?

Di banyak tempat di Asia, misalnya, perempuan begitu terperangkap oleh beban sosial yang demikian berat. Kisah kedua putri di keluarga Kekaisaran Jepang ini kurang lebih ada refleksi dari ketidakadilan ini. Bedanya, jika perempuan kebanyakan hanya ditanyai keluarga, kerabat, dan lingkungan sekitarnya, maka Putri Masako dan Putri Aiko dibebani oleh keluarga kekaisaran dan juga negara sebab "adalah tugas mereka" melahirkan penerus takhta.

Pada hari yang dirayakan oleh hampir seluruh rakyat Jepang itu, saya menyaksikan potret buram dominasi patriarki yang mengerangkeng kedua putri itu. Bagaimana seandainya berita yang tersebar hari itu adalah "Seorang perempuan!" Putri Kiko melahirkan bayi perempuan yang cantik dan sehat. Akankah negara dan rakyat Jepang tetap menyambutnya sebagai pahlawan penyelamat generasi kekaisaran? ===