Mungkin, banyak penduduk daerah tropis yang berpikir, musim panas di daerah empat musim, sama saja dengan cuaca sepanjang tahun di tempat mereka yang hanya dua musim. Pertanyaan seperti itu sering juga diajukan orang-orang Jepang kepada saya. Umumnya mereka mengira, para pendatang yang berasal dari daerah panas, tentunya tidak akan kewalahan menghadapi musim panas di negara ini.
Ketika baru datang, saya juga tak cemas menghadapi musim panas di pertama. Justru musim dinginlah yang lebih mengkhawatirkan buat saya. Namun ternyata, melewati satu-dua kali pergantian seluruh musim, saya sampai pada kesimpulan bahwa musim panas terasa lebih berat daripada musim dingin.
"Mushi-atsui", begitulah orang-orang Jepang menyifati musim panas di negara mereka. Lembab dan panas. Penggambaran mudahnya seperti ini : kalau di Indonesia, bila kita berteduh di bawah pohon, rasanya adem. Apalagi kalau ada angin bertiup. Tapi kalau di Jepang dengan muism panas yang mushi-atsui itu, bernaung di bawah bayangan tak banyak mengurangi rasa gerah. Kelembaban udara sangat tinggi, sehingga keringat tak cepat menguap. Akibatnya, permukaan kulit jadi terasa lengket dan menambah rasa tak nyaman.
Mushi atsui bisa menurunkan nafsu makan dan mengakibatkan kelesuan. Kondisi ini disebut, natsu bate. Mungkin itu sebabnya, di musim panas banyak kegiatan yang diliburkan. Seperti misalnya anak sekolah, umumnya mereka libur selama satu bulan lebih. Sedangkan para pegawai kantoran, rata-rata sekitar 7-10 hari kerja, dan ada juga yang tiap hari tetap masuk namun dengan jam kerja yang lebih singkat.
Bersahabat dengan Serangga
Musim liburan panjang ini dimanfaatkan masyarakat Jepang dengan mengadakan beragam acara menarik. Kebanyakan berupa kegiatan-kegiatan yang bersentuhan langsung dengan alam. Seperti misalnya, untuk anak-anak, mereka akan seperti berlomba-lomba mengumpulkan aneka macam serangga. Pemandangan anak-anak yang membawa jaring-jaring penangkap dan kotak serangga, menjadi bagian khas musim panas di Jepang.
"Raja" serangga di musim panas yang jadi favorit adalah kabutomushi, atau dikenal di Indonesia dengan sebutan kumbang kelapa. Mereka berlomba-lomba mencarinya di pohon-pohon di taman sekitar tempat tinggal, bahkan ada juga yang dengan sengaja pergi ke hutan beramai-ramai sebagai bentuk kegiatan rekreasi kelompok. Selain mencari sendiri, toko-toko binatang peliharaan juga toko mainan anak, biasanya menjual serangga ini. Harganya relatif cukup mahal, berkisar di antara Y2.000 - Y10.000, atau sekitar Rp160.000-Rp800.000 perekor. Bahkan beberapa yang jenisnya spesial, di pasaran harganya bisa mencapai sekitar puluhan juta rupiah. Kabutomushi asal Indonesia, umumnya berasal dari Sumatera, Kaliman dan Sulawesi, juga cukup terkenal dan digemari.
Orang-orang Jepang biasa bermain adu kekuatan antar kabutomushi, sebagaimana di Indonesia ada permainan sabung ayam. Bentuk permainannya seperti pertandingan sumo. Dibuat satu lingkaran sebagai arena bertanding, dan kedua binatang yang dipertandingkan mesti mengangkat lawannya sampai keluar dari lingkaran itu, atau membalikkan badan lawan hingga berposisi punggung di bawah, kaki di atas. Yang bertahan di dalam lingkaran atau tetap dalam posisi berdiri sempurna, itulah pemenangnya. Beberapa saluran televisi menjadikan acara ini sebagai tayangan spesial mereka.
Hanabi
Acara lain yang sangat khas di musim panas di Jepang adalah hanabi, atau kembang api. Dibandingkan Amerika umumnya, kembang api di Jepang terkenal lebih indah dan banyak variasinya. Acara biasanya gratis, siapa saja boleh datang ke tempat-tempat di mana pentas kembang api ini bisa disaksikan. Umumnya berlangsung sekitar jam tujuh sampai jam delapan malam, di saat udara panas sudah digantikan dengan udara sejuk karena matahari sudah terbenam sekitar tiga puluh menit sebelumnya.
Beberapa yang cukup terkenal di Jepang bagian selatan adalah hanabi di Enoshima, Yokohama, dan Asakusa. Umumnya lokasi peledakan kembang api dan tempat orang duduk menonton, dipisahkan dengan laut. Selain mengurangi resiko para penonton terkena percikan api, jarak yang dipisahkan oleh laut ini membuat pemandangan menjadi semakin indah. Cahaya kembang api yang bermekaran bergantian di atas terpantul di permukaan laut.
Pada acara hanabi, orang-orang Jepang biasanya mengenakan busana tradisional yang disebut yukata. Bentuknya seperti kimono, tapi terbuat dari bahan katun, tipis, dan umumnya bercorak warna-warna cerah untuk wanita, sedangkan untuk pria biasanya berwarna biru, abu-abu, atau putih dengan motif gambar kecil-kecil. Harganya relatif jauh lebih murah dibandingkan kimono. Berkisar Y4.000-Y10.000, atau Rp250.000-Rp800.000 perset. Kimono sendiri, biasanya sekitar empat-enam kali harga yukata, atau bahkan lebih dari itu.
Pergi menyaksikan hanabi, tak ubahnya pergi menyaksikan pertunjukan orang-orang terkenal. Bedanya cuma, tidak perlu beli tiket masuk dan tak ada figur tertentu di atas pentas. Namun untuk kenyamanan dan keselamatan, sama-sama tetap perlu disiasati tumpah ruahnya penonton. Misalnya saja, dengan datang lebih awal, duduk di tempat yang lebih mudah sampai ke stasiun kereta jalur pulang, atau lebih dulu meninggalkan tempat pertunjukan, sebelum pentas hanabi benar-benar usai. Bila terjebak pada puncak arus pergi atau pulang, ada kemungkinan sulit masuk ke dalam kereta lantaran sudah sangat penuh, ataupun kemungkinan-kemungkinan kecelakaan lainnya seperti terjatuh atau terhimpit kerumunan massa. Biasanya, orang-orang Jepang bila pergi melihat hanabi, sudah mengantisipasi kemungkinan seperti ini. Mereka jarang terlihat membawa tas besar yang tentunya akan lebih menyusahkan gerak badan di tengah padatnya manusia, lebih dulu membeli karcis kereta, pergi dan pulang sekaligus.
Kingyo Sukui
Ada lagi acara unik lainnya yang cukup kental mewarnai musim panas di Jepang. "Kingyo sukui", begitu istilah yang akrab didengar. Kingyo artinya ikan mas, sukui berarti memungut atau menciduk. Diadakan di jalan raya, yang memang sudah dikondisikan untuk festival ini, seperti dipasangnya aneka umbul-umbul, lampion, dan penjaja makanan serta mainan anak, dari yang tradisional sampai yang buatan pabrik. Sarananya adalah kolam berbentuk panjang, diletakkan tepat di tengah jalan raya. Kolam panjang itu diisi air dan ratusan ikan mas kecil, juga ada beberapa ikan jenis lain yang juga relatif kecil ukurannya.
Kingyo Sukui di Fujisawa Ginza yang diadakan pada tahun 2002, tercatat sebagai kingyo sukui terpanjang di dunia. Panjang kolamnya 100,8 meter, dengan jumlah peserta sekitar 60.000 orang. Tahun ini, acara yang sama di tempat yang sama, kolamnya hanya sepanjang 63 meter, dengan jumlah ikan yang dimasukkan sekitar 45.000 ekor.
Bagi yang ingin mencoba menangkap ikan, mesti membeli satu alat penangkap khusus. Jaringnya terbuat dari kertas, yang mudah rusak bila terkena air. Biasanya harga satuannya Y200, atau Rp16.000. Selain itu, juga diberikan mangkok gabus yang bisa jadi tempat sementara bila ada ikan yang berhasil ditangkap. Dengan dua alat ini, peserta boleh mencoba menangkap ikan sebanyak-banyaknya, sampai jaring kertas penangkapnya rusak lantaran berkali-kali dicelupkan ke air.
Beberapa peserta terlihat ada yang pintar dan mengenali kecenderungan ikan-ikan tersebut. Dengan sengaja dia memposisikan mangkuknya di atas air, sehingga ikan-ikan berkumpul di bawahnya, seperti mencari naungan untuk bersembunyi dari tempat terbuka. Dengan demikian mudahlah ia menangkap beberapa ekor sekaligus.
Musim panas di Jepang dengan segala kemeriahannya sebentar lagi berakhir. Namun indahnya daun-daun yang memerah dan menguning di musim gugur juga tak kalah menarik untuk dinikmati.