Sunday, August 31, 2008
Meishi (Kartu Nama)
Read this article in English.
Translation copyright : Closer to Japan.
Adalah sebuah kebiasaan umum di Jepang, menawarkan kartu nama saat berkenalan dengan seseorang. Selain nama, biasanya pada kartu ditambahkan pula nama perusahaan, organisasi, status jabatan atau jenis pekerjaan, alamat kantor atau organisasi beserta nomor telepon ataupun faks. Biasanya, sebuah kartu juga menampilkan logo atau lambang perusahaan/organisasi.
Kartu nama yang paling umum di Jepang adalah yang berwarna krem, dengan tulisan yang dicetak hitam dengan karakter huruf Cina. Belakangan ini, kebanyakan menambahkan keterangan yang sama dalam alfabet romawi di belakang kartu.
Tidak ada perbedaan yang kontras antar kartu nama bisnis yang digunakan di Eropa ataupun di Amerika. Utamanya sejak abad ke-19, kartu nama untuk keperluan sosial kemasyarakatan ataupun untuk bisnis, umumnya sama saja.
Kartu nama biasanya digunakan pula sebagai "surat perkenalan". Dalam hal ini, biasanya pada kartu ditambahkan catatan khusus yang dirasakan perlu antara yang memberi kartu dan yang akan diberikan kartu.
Adab sopan santun yang berlaku di masyarakat Jepang mengharuskan seseorang yang berada di posisi yang lebih rendah atau berusia lebih muda untuk lebih dulu menawarkan kartu namanya. Saat menyerahkan kartu, hendaknya tulisan pada kartu tersebut menghadap ke penerima, sehingga penerima bisa segera membaca tulisan pada kartu tersebut begitu menerimanya. Adalah dianggap tidak sopan menggunakan kartu yang sudah rusak atau lecek, ataupun yang sudah ada catatannya yang tidak diperuntukkan bagi orang yang akan diberikan.
Sumber :
- Japan, The Land and It's People
-Gates to Japan, Gen Itashaka.
Translation copyright : Closer to Japan.
Thursday, August 28, 2008
Orang Jepang Olahraga Setiap Hari -- Secara Alami
:: Read this article in English
:: Translation Copyright : Closer to Japan.
Bukan hanya makanan yang jadi faktor utama orang Jepang bisa berumur panjang dan umumnya cukup sehat. Faktor lainnya adalah karena mereka setiap hari di sepanjang hidup mereka, melakukan olahraga secara alami. "Kesehatan orang Jepang sangat baik dan demikin pula bentuk tubuh mereka," demikian sebuah judul dalam Majalah Time pada tahun 2004 terkait tulisan tentang 'Bagaimana Hidup Sampai 100 Tahun'. Salah satu aktor utama pendukung umur panjang itu adalah "...mereka adalah orang-orang yang sangat aktif yang terlibat dalam kegiatan olahraga yang tidak disengajai setiap hari."
Orang-orang tua Jepang khususnya, sangat aktif. Makoto Suzuki, seorang professor di Universitas Internasional Okinawa, mengatakan, "Berkebalikan dengan di Amerika, para tetua Jepang tidak perlu sengaja keluar untuk khusus berolahraga -- rutinitas setiap hari sudah membuat mereka cukup langsing dan sehat." Fakta tersebut bila digabung dengan pola makan gizi seimbang, "Itu adalah kombinasi yang melahirkan kemenangan,"tambah Professor Suzuki.
Ambil contoh dekat misalnya, keluarga saya sendiri [penulis, Naomi Moriyama]. Ibu saya, Chizuko, berjalan kaki di jalan-jalan Tokyo setiap hari, kadang naik turun tangga, dan pada akhir pekan ia biasanya pergi mendaki gunung bersama teman-temannya. Musim panas yang lalu, kedua orang tua saya mengajak saya dan Billy [suami Naomi] mendaki Gunung Takao, yang sebenarnya merupakan bukit taman nasional setinggi 600 meter di Tokyo. Ketika kami hampir sampai di puncak setelah melakukan pendakian selama kira-kira 1,5 jam, ibu saya mengatakan yang merupakan sebuah fakta, "Saya sama sekali tidak capek!"
Seperti jutaan orang Jepang lainnya, ayah saya, Shigeo, yang saat ini sudah di awal 70-an, biasa berkeliling di kota dengan sebuah sepeda tua. Bukan sepeda modern 'Lance Armstrong', itu hanya sepeda yang memiliki satu kecepatan. Biasanya ia bersepeda ke rumah saudara perempuan saya berjarak sekitar dua puluh blok untuk menjaga cucu-cucunya.
Sebaliknya, saudara perempuan saya, Miki, bersepeda juga dalam kota, kadang-kadang pergi belanja kebutuhan rumah tangga yang ia taruh di keranjang sepeda bagian depan yang mana di bagian belakang sepeda, ia bonceng keponakan saya, Kasumi yang berusia dua tahun. Sering, Miki menjemput Kazuma, kakak Kasumi, pulang sekolah dengan cara yang sama : bersepeda. Adapun suami Miki, Shiko, lebih aktif lagi, karena ia pekerjaannya memang di bidang olah tubuh : instruktur tari tradisional Jepang dan aktif jadi pengajar di kelas-kelas yang terdapat di dalam negeri.
Di jalan-jalan yang sempit dan antara gedung-gedung di seluruh Tokyo, Anda akan mudah melihat orang-orang kantoran bersepeda dan para perempuan juga demikian, pergi belanja keperluan rumah tangga. Dan apa yang terjadi di Tokyo itu, mewakili secara keseluruhan dalam negeri.
Berjejer panjang di sekitar stasiun kereta, ratusan bahkan mungkin ribuan sepeda itu memberitahu Anda bahwa itu milik orang-orang yang pergi sekolah atau kerja dengan bersepeda dari rumah. Salah satu pemilik sepeda itu adalah paman saya Kazuo, yang saat ini berusia di awal 70-an. Ia tiap hari pergi kerja dari Tokyo ke pinggiran kota. Hujan ataupun cerah, setiap hari Anda dapat melihatnya meninggalkan rumah dan mengayuh sepeda ke stasiun, memarkir sepeda untuk selanjutnya menggunakan kereta, dengan setelan jas kantornya beserta dasi.
"Bagaimana kalau hujan?" tanya saya.
Ia menjawab dengan enteng, "Memangnya kenapa, saya cuma ambil payung saja, pegang satu tangan dan tangan yang satu mengemudikan sepeda!" Istrinya, Yoshiko, berenang setiap hari dan ia juga seorang pelatih selam.
Secara sederhana, naik kereta setiap hari di Jepang sudah merupakan olahraga. Stasiun kereta tersebar di seluruh negeri, terletak terpisah-pisah dalam jarak tertentu, yang menuntut orang untuk naik turun tangga dan berjalan kaki antara stasiun yang satu ke stasiun lainnya untuk ganti kereta.
Terkait dengan "ketidaksengajaan" berolahraga, banyak orang Jepang yang sudah terbiasa dengan olahraga yang sampai keringatan.
Setiap pagi di Tokyo saat fajar merekah, Anda bisa lihat Keizo Miura yang usianya menjelang 100 tahun melakukan jalan kaki sebelum sarapan dengan telur dan rumput laut. Di usia 99, ia melakukan ski di Mont Blanc, Alpes, Italia.
Pada tahun 2003, anaknya, Yuichiro Miura yang berusia 72 tahun saat itu, menjadi orang paling tua yang penrah mendaki Gunung Everest -- satu tahun setelahnya ikut pula temannya, Tamae Watanabe, yang dengan usia 63 tercatat sebagai perempuan tertua yang juga mendaki gunung tersebut.
"Orang-orang tua Jepang memang diakui sehat, bisa melakukan banyak hal di usia tua mereka, yang mungkin banyak anak muda tak bisa lakukan," kata anak Mr. Miura pada seorang reporter yang sedang membuat tulisan tentang usia panjang orang Jepang. "Orang-orang Jepang yang berusia di atas 65 tahun di sini pada pergi mendaki gunung, pergi ke Cina untuk menanam pohon, melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mengajar Bahasa Jepang. Semuanya itu karena diet, olahraga yang alami setiap hari."
:: Read this article in English
:: Translation Copyright : Closer to Japan.
Sunday, August 24, 2008
Hanko (Stempel Pengganti Tanda Tangan)
Tidak seperti di umumnya negara-negara barat, sebuah tanda tangan secara hukum tidak diakui legal di Jepang. Pencairan slip penarikan di bank, aplikasi-aplikasi di kantor-kantor pemerintah dan semua jenis dokumen resmi, distempel dengan hanko (yang juga disebut inkan ataupun cap, mengikuti nama orang yang bersangkutan.
Hanko terbuat dari kayu, gading, tulang, kristal, batu, ataupun bahan lain dan diukir dengan nama keluarga pemiliknya. Biasanya, warna tinta stempel yang ada pada bantalan stempel hanko adalah berwarna merah. Menggunakan dokumen yang distempel dengan benar adalah legal di Jepang, meskipun bukan yang bersangkutan yang menulis nama dari pemilik yang punya hanko.
Bagi mereka yang memiliki nama keluarga umum (seperti "Sato", "Suzuki", "Kobayashi") bisa membeli hanko yang sudah jadi di toko-toko buku, tapi ketika mereka perlu membeli properti atau melakukan transaksi yang melibatkan sejumlah besar uang, adalah menjadi keharusan untuk membuat hanko yang disebut jitsuin yang secara resmi didaftarkan ke kantor pemerintah. Dan juga, untuk menarik uang dari sebuah rekening bank, hanya bisa dengan memakai hanko yang dijadikan stempel pada buku bank saat rekening baru dibuat atau dibuka.
Untuk transaksi kecil-kecilan, orang biasanya menggunakan hanko yang tidak perlu didaftarkan, yang disebut mitome-in. Biasa digunakan untuk menyetempel tanda terima pengantaran surat kilat, surat terdaftar dan kiriman barang, dan untuk stempel dokumen di tempat kerja. Itulah sebabnya kehadiran hanko dalam kehidupan sehari-hari sangat terasa. Begitu seringnya hanko digunakan, hingga hidup rasanya hampir tidak mungkin tanpa memiliki satu hanko.
Mulai dari anak usia SD, sudah perlu memiliki satu hanko. Harga pembuatannya yang paling murah adalah sekitar 80 ribu hingga 150 ribu rupiah perbuah. Adapun mereka yang punya nama marga yang umum, bisa membeli hanko yang sudah jadi di toko-toko yang menjual semua item barangnya seharga 100 yen atau delapan ribu rupiah.
::Translation copyright : Closer to Japan.
(Gaya Hidup di Jepang) : Uang Tip (Kokorozuke)
:: Read this article in English.
Meskipun sebenarnya secara umum tidak ada kebiasaan memberi tip di Jepang, ada sejumlah orang yang dengan sengaja memberi tip pada para pelayan atau para koki sebagai tanda penghargaan saat bermalam di penginapan tradisional Jepang yang dikenal dengan nama ryoukan. Uang tip ini, yang dalam bahasa lokalnya disebut kokorozuke, biasanya dimasukkan ke dalam sebuah amplop khusus yang biasa banyak dijual di toko-toko, baik stationary ataupun di toko keperluan sehari-hari. Kebiasaan memakai amplop ini adalah sebuah kelaziman, yang mana sebaliknya, adalah tidak lazim memberikan tip secara langsung tanpa "disembunyikan" dalam suatu bungkusan.
Biasanya, beberapa orang memberi tip pada orang yang membantu mereka, ataupun pegawai pada masa-masa suatu festival dilangsungkan ataupun peristiwa-peristiwa khusus, sebagai salah satu bentuk bonus atau hadiah khusus kepada para pegawai yang mereka terima di luar uang gaji. Uang yang diberikan dalam situasi seperti ini biasanya ditempatkan di dalam amplop yang dikenal dengan nama shuugibukuro, juga bisa didapatkan di toko-toko.
Dalam sebuah pementasan seperti teater ataupun di lapangan-lapangan olahraga semisal baseball, bonus juga biasa diberikan kepada para staf yang dimasukkan dalam amplop yang dikenal dengan nama ouiribukuro.
Namun, bagaimanapun, perlu diingat bahwa dapat dipastikan tidak ada kebiasaan memberi tip di hotel biasa, rumah makan modern, stasiun, bandar udara, dan fasilitas modern lainnya.
:: Translation copyright : Closer to Japan.
Sumber : Gen Itasaka, Gates to Japan.
Meskipun sebenarnya secara umum tidak ada kebiasaan memberi tip di Jepang, ada sejumlah orang yang dengan sengaja memberi tip pada para pelayan atau para koki sebagai tanda penghargaan saat bermalam di penginapan tradisional Jepang yang dikenal dengan nama ryoukan. Uang tip ini, yang dalam bahasa lokalnya disebut kokorozuke, biasanya dimasukkan ke dalam sebuah amplop khusus yang biasa banyak dijual di toko-toko, baik stationary ataupun di toko keperluan sehari-hari. Kebiasaan memakai amplop ini adalah sebuah kelaziman, yang mana sebaliknya, adalah tidak lazim memberikan tip secara langsung tanpa "disembunyikan" dalam suatu bungkusan.
Biasanya, beberapa orang memberi tip pada orang yang membantu mereka, ataupun pegawai pada masa-masa suatu festival dilangsungkan ataupun peristiwa-peristiwa khusus, sebagai salah satu bentuk bonus atau hadiah khusus kepada para pegawai yang mereka terima di luar uang gaji. Uang yang diberikan dalam situasi seperti ini biasanya ditempatkan di dalam amplop yang dikenal dengan nama shuugibukuro, juga bisa didapatkan di toko-toko.
Dalam sebuah pementasan seperti teater ataupun di lapangan-lapangan olahraga semisal baseball, bonus juga biasa diberikan kepada para staf yang dimasukkan dalam amplop yang dikenal dengan nama ouiribukuro.
Namun, bagaimanapun, perlu diingat bahwa dapat dipastikan tidak ada kebiasaan memberi tip di hotel biasa, rumah makan modern, stasiun, bandar udara, dan fasilitas modern lainnya.
:: Translation copyright : Closer to Japan.
Sumber : Gen Itasaka, Gates to Japan.
Subscribe to:
Posts (Atom)